Senin, 15 Februari 2010

Pesta olahraga



Hari itu adalah hari Pesta Olahraga untuk murid-murid Xiamen International School (XIS), salah satu daripada sekolah untuk murid-murid manca negara di Xiamen, China. Pada pesta olahraga itu, murid-murid dari 2 sekolah berbeda diundang untuk bertanding dalam bidang sepakbola dan bola basket. Murid-murid yang diundang termasuk Ying Cai (YC), sekolah lokal ternama, dan American International School of Guangzhou (AISG), yang terletak di Propinsi Guangzhou (Kanton).

Pada hari pertama pesta olahraga tersebut, aku berpartisipasi dalam kedua bidang olahraga, sepak bola dan bola basket. Sewaktu aku sedang beristirahat di kantin sekolahan sambil minum Gatorade kuning yang tersedia untuk para pemain, Gina, cewekku yang berasal dari Taiwan, datang dan memijitiku sewaktu melihat sebagaimana letihnya aku ini.

"Enak banget sayang, kerasan dikit dong pijatannya," dengan enaknya merasakan pijatan-pijatan tersebut aku mendongak dan berkomentar. Paras cantik Gina yang menawan hatiku sejak setahun yang lalu terlihat semakin cantik saja, dan langsung aku berdiri dan memberi ciuman mesra. Mungkin karena hawa yang mulai memanas atau mungkin karena nafsu yang telah terpendam, ciuman kami semakin ganas dan tanganku mulai menggerayangi badan sintal si Gina. Buah daranya yang tegang menonjol kupegang, kuelus dan kuremas dengan penuh nafsu. Kudorong Gina ke tembok kantin yang kosong itu dan mulai memberi ciuman liar ke leher Gina.

Aku tahu kalau yang lain pasti sedang sibuk menonton pertandingan lainnya, maka kuajak si Gina pindah ke bagian atap sekolah yang hampir tidak pernah didatangi orang, kecuali kalau ada yang mau curi-curi merokok. Di atap sekolahan, kumulai serangan ciuman, elusan dan remasan ganasku dan kulucuti pakaian Gina satu persatu. Tak mau kalah ganasnya, Gina juga mulai melucuti pakaianku dan mengelus-elus kemaluanku yang sudah separuh tegang itu.

Kuciumi sepasang buah dada yang menantang itu (kurang lebih 34B). Kukulum salah satu pentilnya dan nafas Gina mulai naik turun. Tanganku mulai meremas-remas buah dadanya sambil memainkan puting buah dadanya. Tanganku yang satunya mulai berkeliaran dan menelusuri ke bawah, melewati daerah hutan terlarangnya dan mulai memainkan klitoris Gina yang sudah mulai membengkak. Kutidurkan Gina di atas lantai dari atap sekolah itu dan kulanjutkan serangan-serangan ke arah bagian-bagian erotis Gina. Gina cuma bisa memelukku erat-erat sambil mengelus-elus rambutku yang telah di cat merah itu. Setelah kurang lebih lima menit, tangan si Gina mulai menggapai kemaluanku yang sudah mengeras seperti karang itu dan mulai mengocok-ngocoknya. "Kur, boleh nggak kalau aku jilat kamu punya adik ini?" Tanpa pikir panjang, kubentuk posisi 69 dan mulai kucium dan kujilati lubang kemaluan si Gina yang sudah basah tidak kepalang itu. Dengan lidahku yang terlatih itu, kujilati bagian klitoris si Gina dan sesekali kumasukkan lidahku ke dalam lubang kemaluan si Gina. Aroma segar menantang dari liang kemaluan si Gina masuk ke dalam hidungku yang mulai kembang kempis itu. Si Gina tak mau kalah dan mulai menjilati dan mengulum batang kemaluanku sambil memainkan buah dadanya sendiri.

Lima menit, tak lebih, dan paha si Gina menegang dan tanda-tanda akan orgasme telah muncul. Kutambah ritme jilatan-jilatan terhadap klitoris Gina dan Gina mulai tidak memperdulikan batang kemaluanku. "Kur... cepat dong Kur... Ayo... cepat... lebih cepat lagi." Jilatan liarku membuat Gina mulai mabuk kepalang dan kuku-kuku Gina mulai mencengkeram pinggangku. Tak lama kemudian banjir sudah kemaluannya dan Gina mendapatkan orgasme pertamanya. Si Gina tergeletak lunglai, tetapi batang kemaluanku masih tegak berdiri menantang.
"Gimana nih Gin, aku punya kontol masih tegak."
"Tunggu sebentar dong Kur, entar kamu masukin aja deh ke memekku aja... aku masih capek nih." Aku tidak peduli lagi, langsung kumulai lagi dengan serangan-seranganku. Kucium leher Gina dan buah dadanya yang menantang tersebut, erangan dan desahan si Gina mulai terdengar lagi. Kugesek-gesekkan adikku ke kemaluan si Gina dan serangan-serangan erotis itu membuat si Gina yang sudah capai itu mulai panas lagi.

"Kur, masukin dong... tapi hati-hati yah... Aku baru pertama nih."
Seperti biasa, tak banyak bicara dan hanya mengangguk. Kuarahkannya batang kemaluanku ke lubang kemaluan si Gina yang sudah basah. Dengan pelan-pelan kumasukkan ke dalam lubang kemaluan Gina yang hangat itu. Susah sekali batang kemaluanku masuk ke dalam lubang kemaluan si Gina yang sempit itu, tetapi akhirnya masuk juga separuh.

"Gimana Gin, sakit nggak?"
"Agak nih... masukkin deh aja semuanya sudah..."

Walaupun disuruh masukan semuanya, aku masih dengan pelan-pelan menusukkan batang kemaluanku dan akhirnya kudobrak segel keperawanan si Gina dan membuat Gina menjerit lirih,
"Kur... Sakit...!"
"Tahan sayang... aku akan berhenti dulu supaya kamu membiasakan diri dengan adanya kontolku di dalam memekmu yang sempit ini..."
Kubiarkan batang kemaluanku di dalam liang kemaluan si Gina, tetapi tanganku dan mulutku memulai lagi serangan erotis-erotisnya agar si Gina dan kemaluanku tidak dingin. Setelah memberi waktu dua menit, kumulai goyangan "esek-esekku". Desahan-desahan Gina mulai terdengar, dan kukunya yang panjang-panjang itu di pundak ditancapkan seenaknya di pundakku. Ritme sodokanku kunaikkan dan naik pula ritme erangan si Gina.

"Argh.. Kur... enakk... Enak Kur... Terus... Goyang terus..."

Kutusuk-tusuk lubang kemaluan si Gina dengan ganasnya dan kaki si Gina yang terbuka lebar itu mulai menjepit pinggangku untuk menambahkan efek tancapan batang kemaluanku. Tanganku meremas-remas buah dada si Gina yang menantang sekali di depannya sambil tetap bergoyang. Kuremas, kuhisap, kucubit dan kupelintir pentil si Gina.
"Goyang terus Kur... Iya... terusin Kur..."
Aku diam saja tak mengeluarkan suara kecuali desahan-desahan kenikmatan. Nafas si Gina mulai naik turun tak teratur.
"Ah... Ah... Yeah... Oh... yeah... Argh... Argh..."
Paha si Gina mulai menegang lagi pertanda orgasme kedua akan datang.
"Kur cepetan Kur... Kerasan dong! Udah mau nyampe nih... Cepetan Kur!"
Aku pun merasakan bahwa aku akan keluar juga dalam waktu singkat.
"Argghhh!"
Meledak juga pertahanan si Gina dan orgasme keduanya telah datang.
"Gina, aku punya juga mau meledak nih... Gimana, di dalam atau luar?"
"Dalam-dalam aja... aku lusa bakal datang bulanannya..." Gina yang sudah dilanda nafsu itu menjawab dengan cepat.
"Arrgghhh! Arrgghhh!"
Orgasme susulan ketiga membanjiri liang hangat si Gina dan aku pun juga jebol pertahanannya. Kutembakkan spermaku ke dalam liang hangat si Gina.

Kami berpelukan erat dan beristirahat karena kelelahan sementara air maniku mulai pelan-pelan mengalir keluar dari liang kemaluan si Gina. Dengan mesra dan lelah, kupeluk erat si Gina sambil menikmati sisa-sisa kenikmatan yang ada. Tanpa disadari, ada sepasang mata yang telah melihat atraksi gila kami cukup lama dan menggertak, "Eh, apa-apaan kalian? Ini sekolah lagi, bukan tempat untuk bermain seks!"

Part II - Pengalaman Tak Terduga

Gina dan aku menoleh untuk melihat Ms. Rothen, guru sejarah dan merangkap guru geografi yang berasal dari Jerman itu, berdiri dengan muka yang marah. Untuk perkenalan, Ms. Rothen itu kurang lebih berumur 25 tahun dengan perawakan yang kurus dan jangkung. Untuk vital statistic Ms. Rothen, 33C-25-35. Gina dan aku bangun tersentak kaget. Mata Ms. Rothen lumayan terbelalak melihat batang kemaluanku yang sedang setengah bangun itu. Aku maju ke depan beberapa langkah dan menatap mata Ms. Rothen dengan tajam, sementara Gina mengambil beberapa pakaian untuk menutupi bagian vitalnya. Tanpa aba-aba, kutarik saja kepala Ms. Rothen ke mukaku dan kuciumi bibirnya dengan ganas. Ms. Rothen mencoba untuk mendorongku tetapi tenagaku masih jauh di atas Ms. Rothen. Rok Ms. Rothen kusibak dan langsung kumainkan kemaluan Ms. Rothen dari luar celana dalamnya.

Dorongan tangan Ms. Rothen mulai berubah menjadi pelukan dan elusan liar. Lidah kami mulai bertarung dan tangan Ms. Rothen mulai mengelus-elus adikku. Ciuman itu terpisah beberapa saat untuk mengambil nafas. "Kurniawan, tak pernah kuduga kemaluan kamu ini begini panjang dan besar dan terlihat begitu nikmat."

Kuturunkan celana dalam Ms. Rothen dan kulepas baju Ms. Rothen dengan kasar. Ms. Rothen agak kaget tetapi diam saja. Batang kemaluanku yang dari tadi dielus-elus itu kutarik dan kugesek-gesekkan di selangkangan Ms. Rothen. Ms. Rothen mulai bersandar ke tembok dan mulai mengaduh keenakan. Gina pun mulai ikut-ikutan dan mulai meremas-remas buah dada Ms. Rothen. Tanpa ayal, Ms. Rothen pun mulai mengerang dan mendesah. Tangan Ms. Rothen juga mulai memainkan buah dada si Gina dan mereka pun berciuman dengan mesra. Kutarik Ms. Rothen dan kutidurkan dia di lantai yang dingin itu, dan mulailah kumasukkan batang kemaluanku yang sudah siap tempur itu ke dalam liang kemaluan Ms. Rothen.

Lubang kemaluan Ms. Rothen tidak seerat lubang kemaluan si Gina yang masih perawan, tetapi lumayan juga, buat orang bule dewasa yang sering disetubuhi. Sodokan-sodokan pertama kumulai dengan pelan-cepat pelan-cepat dengan ritme yang secara random. Gina menempatkan lubang kemaluannya tepat di depan mukaku. Kupegang pantatnya dan dengan lahapnya, kujilati liang kemaluannya yang basah itu dan kumainkan klitorisnya dengan lidahku. Dalam waktu yang sama, Gina mulai menciumi Ms. Rothen dan memainkan buah dada Ms. Rothen, begitu pula dengan Ms. Rothen. Ms. Rothen pun membalas ciuman Gina dengan ganas dan dimainkan pula buah dada si Gina.

Erangan kami bertiga di atas atap itu membuatku semakin liar. Sodokan dan jilatanku pun semakin liar dan ritmenya semakin cepat.
"Kurniawan, cepetan dong... sodokanmu... Iya... Argh... enak... cepetan.. aku udah mau nyampe nih."
"Iya kur... cepetan dong jilatannya... Iya.. gitu dong..."

Tak tahan lagi, dengan seluruh tenaga, kupercepat sodokan dan jilatanku. Kupendamkan seluruh mukaku ke liang kemaluan si Gina dan dengan liarnya kumainkan mukaku, dan lidahku di lubang kemaluannya. Gina pun semakin bergoyang dengan liar. Ms. Rothen tidak kubiarkan, sodokanku semakin dalam dan cepat dengan dililitkannya kakinya ke pinggangku.
"Oh yeah... oh yeah... aku keluaaarrr...!" teriak Ms. Rothen.
Ms. Rothen lah yang pertama kali mencapai orgasme. Biarpun dia sudah dilanda orgasme, kuteruskan saja sodokanku.
"Kur, udah Kur... nyeri nih Kur... cabut dulu dong..." pintah Ms. Rothen. Aku tak peduli. Setiap kali aku memohon dia untuk memberikan penundaan terhadap tes-tes sejarah, tak pernah diberikan. Kusodokkan saja dengan ganasnya.
"Kur sudah... cukup... argh... argh... iya... enak... terus! Aku mau nyampe lagi nih Kur..."

Kali ini dengan sengaja kuhentikan gerakanku. Ms. Rothen pun mulai memohon-mohon agar aku meneruskan gerakanku. Pantatnya digoyangkan agar ada gesekan. Aku masih tetap saja sibuk menjilati lubang kemaluan Gina yang basah itu. Aku merasakan bahwa Gina juga akan orgasme. Aku mulai lagi sodokan-sodokanku untuk membungkam Ms. Rothen dan jilatanku pun kuteruskan. Aku juga merasakan akan datangnya orgasmeku. Jariku kumasukkan ke dalam liang kemaluan si Gina dan kujilati klitorisnya dengan kecepatan yang luar biasa sambil adikku tetap menyodok Ms. Rothen dengan ganasnya.
"Aku keeluuuaarrr... Argghhh! Yesss! Aku keluaarrr...!" teriak Ms. Rothen.
"Aku keluaarrr... juga," balas si Gina.
Ms. Rothen pun mendapatkan orgasmenya yang kedua bersamaan dengan Gina dan... "Argh!" kusiramkan saja air maniku ke dalam lubang kemaluan Ms. Rothen. Aku pun mendapatkan kepuaskan sekali lagi.

Kami bertiga terdiam di situ. Bertiduran di atas lantai yang dingin melepas lelah. Nafas kami masih terengah-engah akibat permainan yang sangat liar tetapi memuaskan itu. Kami sudah tiduran selama, kurang lebih lima menit, sewaktu terdengar,
"Kurniawan! Ginaaa! Dimana kalian? Kamu orang di atas yah?"

Part III - Balas Dendam Janet

"Gila! Si Janet!" Ms. Rothen mulai bingung.
"Tenang," kataku.
"Janet itu temenku. Dia tidak bakal buka rahasia kita punya," kataku ke Janet.
Terdengar langkah Janet menaiki tangga ke atap.
"Kamu orang ngerokok lagi yah?" kata Janet sambil menaiki tangga.
"Kamu orang bertanding kok...."

Kata-kata Janet terputus ketika melihat siapa saja yang berada di sana. Matanya terbelalak melihat tiga orang yang sedang berbugil ria di sana, apa lagi dengan adanya Ms. Rothen. Mulutnya terbuka dan tangannya yang memegang botol minuman pun terdiam. Untung saja botol itu tidak jatuh walaupun terkejutnya si Janet. "Janet, kamu jangan kasih tahu orang lain yah masalah ini, kalau nggak, aku pasti dipecat sama kepala sekolah," mohon Ms. Rothen.

Mata si Janet mulai bersinar dengan kenakalan khas si Janet. Si Janet ini terkenal trouble-maker yang cewek, kalau trouble maker yang cowok, siapa lagi kalau bukan aku. Sudah berulang kali si Janet kena skors dan hukuman dari kepala sekolah gara-gara Ms. Rothen. Mendengar bahwa Ms. Rothen memohon untuk tidak memberitahukan ke kepala sekolah dia terlalu happy. Hal itu dengan mudah diurus, tetapi si Janet pasti ada akal bulus untuk balas dendam.

"Itu hal Gampang, Ms. Rothen, asal kamu menuruti apa mauku."
Aku dan Gina saling pandang, kami pun juga terkadang sering terkena masalah dengan Ms. Rothen. Kami bertiga tersenyum sambil mengelilingi Ms. Rothen. Janet meletakkan botol Aqua yang dari kaca di tempat yang aman, supaya tak terkena tendangan atau apa-apa, kemudian melepaskan bajunya satu persatu. Badan Janet yang aduhai semampai itu sangat menarik hati. Kalau bukan sikap matre-nya, pasti sudah aku jadikan cewekku itu. Janet yang berasal dari Hong Kong dan pernah tinggal di San Fransisco ini dianugerahi badan yang semampai. Dengan buah dada 35B dan pinggang yang langsing, tidak ada yang bisa menduga kalau si Janet ini baru saja 14 tahun. Menurut pengalaman pribadi, lubang kemaluan si Janet ini masih serat, berarti jarang bersenggama, keperawanannya saja aku yang mengambil beberapa minggu yang lalu.

"Okay Ms. Rothen, aku mau kamu jilati memekku sekarang!" perintah si Janet. Ms. Rothen mulai saja menjilati lubang kemaluan si Janet sambil tangannya meraba-raba dan memeras-meras buah dada si Janet yang padat itu. Aku dan Gina sudah tidak tahan lagi melihat pemandangan seperti itu. Aku dan Gina pun mulai berciuman dan meraba-raba. Baru juga tiga atau empat menit, belum juga foreplay aku dan Gina selesai, si Janet sudah hampir sampai orgasme. Teriakan si Janet mulai memenuhi atap itu.
"Rothen bangsat! Terusin... yah... terusin... jilatin tuh memekku! Cepetan! Arghh... Iya... aku mau nyampe nih... Iya arghh! Yess Oh... ahhh!"
Gila, si Janet pasti sedang terangsang sekali. Pokoknya cepat sekali dia sampainya.

Janet bangun berdiri setelah pulih dari orgasmenya, dia mengambil botol Aqua dan meminum sisa yang tertinggal di dalam botol. Kemudian, botol kosong itu disodorkan ke Ms. Rothen. Ms. Rothen agak bingung sesaat. Janet menyuruh Ms. Rothen terlentang di lantai dan aku bisa membaca apa yang akan dilakukan si Janet. Dibukanya selakangan Ms. Rothen dan diminta kembali botol Aqua itu. Janet mulai menciumi Ms. Rothen dan ciuman si Janet mulai turun ke daerah buah dada Ms. Rothen. Dijilati dan dihisap puting Ms. Rothen dan Ms. Rothen cuma bisa mengaduh keenakan. Tanpa sepengetahuan Ms. Rothen dan tanpa aba-aba, dihujamkannya botol Aqua kosong itu ke dalam lubang kemaluan Ms. Rothen. Ms. Rothen kaget dan berteriak kesakitan. Botol Aqua itu masuk sampai seluruh bagian leher dari botol Aqua. Diputar-putarnya botol itu oleh Janet dan Ms. Rothen mulai mengerang keenakan.

Foreplay-ku dengan si Gina sudah membuat batang kemaluanku menegang keras. Kuarahkan Gina agar dia tepat di atas Ms. Rothen dan kusuruh si Gina untuk berlutut dengan kedua lututnya di samping pundak Ms. Rothen. Dengan begitu lubang kemaluan si Gina tepat di depan muka Ms. Rothen dan Ms. Rothen langsung mulai menjilati liang kemaluan si Gina dan memberi oral seks kepada si Gina. Sementara itu, kusuruh si Janet untuk memberiku oral seks. Gila, mulut si Janet yang kecil dan erat itu memberikan rangsangan yang tak terkira. Aku dan Janet berubah posisi menjadi posisi 69 dan Janet masih tetap memutar dan menyodokkan botol Aqua itu di lubang kemaluan Ms. Rothen.

Tak tahu dengan sadar atau tanpa sadar, Janet mendorong masuk lebih botol itu hingga hampir setengah dari botol yang masuk. Ms. Rothen yang sedang mengerang keenakan sambil menjilati lubang kemaluan si Gina pun menjerit kesakitan. Botol Aqua yang masuk kurang lebih berdiameter 5-8 cm. Janet menarik membalikkan botol itu dan memasukkan botol itu dari bagian pantat botol. Ms. Rothen yang berniat bangkit telah diduduki si Gina agar tidak bisa bangkit. Ms. Rothen yang tak berdaya itu cuma bisa berteriak kesakitan. Kututupi mulut Ms. Rothen dengan tanganku karena aku takut teriakan-teriakan Ms. Rothen bakal menarik perhatian orang lain.

Janet mulai menyiksa Ms. Rothen dengan memutar-mutar botol itu dan menggigit klitoris Ms. Rothen. Aku juga tak mau kalah dan mulai menggigit puting Ms. Rothen dan mencubit puting yang satunya dengan keras.
"Eh Kur, gila nih guru, disiksa gini tambah terangsang keliatannya... Makin basah aja nih... "
Yakin kalau Ms. Rothen benar-benar sudah mulai terangsang dengan permainan kasar ini, aku memainkan dada Ms. Rhoten sambil mencubit-cubit putingnya dengan keras. Gina pun sudah sangat terangsang dan dia berlutut di depanku agar dengan mudah aku dapat menjilati lubang kemaluannya yang basah dan beraroma itu. Sambil menyetubuhi Ms. Rothen dengan botol Aqua, si Janet melepaskan nafsunya dengan tangannya sendiri. Dimasukkannya tiga jari ke dalam lubang kemaluannya sambil memainkan klitorisnya.

"Oh I can't take it... this is tooo much.... Nggak tahannn!"
Tak ayal lagi, Ms. Rothen mendapatkan orgasme yang kuat. Ms. Rothen sudah tidak bertenaga lagi karena kuatnya orgasme yang didapatnya. Aku, Janet dan Gina pun membuat posisi huruf 'U'. Aku terlentang di lantai menjilati lubang kemaluan si Janet, sementara si Gina mengendarai batang kemaluanku dengan buas.
"Oooh... Ahh... Oh.. Ahh..." kami bertiga mengerang.
Aku menyuruh si Janet untuk bersiap dalam posisi doggy dan Gina di depannya dalam posisi yang sama. Gina menurut saja dan Janet pun mulai menjilati lubang kemaluan si Gina dan erangan Gina mulai lagi terdengar. Kuoleskan cairan si Janet ke daerah pantatnya dan aku mulai menyetubuhi si Janet. Pertama kali masuk memang susah dan Janet agak kesakitan, tetapi setelah masuk, rasanya enak sekali. Si Janet mulai mengerang keenakan dan kusodomi si Janet dengan sodokan-sodokan yang perlahan tetapi mantap. Tanganku tak tinggal diam, tangan yang satu memainkan buah dada si Janet, sementara yang satu lagi memenuhi kemaluan si Janet dengan tiga jari. Gerakan dan erangan si Janet semakin liar saja. Sodokanku pun juga bertambah cepat sesuai permintaannya.

"Cepat Kur, ayoo... cepat sedikit... Enak nih..."
"Kamu juga dong Jan.. Jilatannya cepat dikit.. aku mau nyampe nih..."

Gina rupanya sudah mau sampai juga, dan akhirnya Gina sampai duluan. Dia pun tiduran di sebelah Ms. Rothen melepas lelah, sementara aku menyodoki si Janet. Dua lubang terpenuhi, duburnya oleh batang kemaluanku, dan lubang kemaluannya oleh jemariku. Gerakanku semakin cepat dan dapat kurasakan bahwa aku akan orgasme dalam waktu dekat ini. Kupercepat gerakanku. Tanganku kuletakkan di pinggulnya agar aku dapat menyodoknya lebih dalam dan lebih cepat. Tak lama pertahanan si Janet pun roboh dan dia mendapatkan orgasmenya. Tiga detik setelah itu, kutembakkan spermaku ke dalam perutnya. Ledakan itu lumayan dasyat dan kurang lebih ada tujuh semprotan. Setelah itu, kucabut batang kemaluanku dan aku pun tiduran bersama mereka bertiga. Kulihat jam tanganku dan waktu menunjukkan pukul 4 sore. Pertandingan telah berakhir dan aku telah melewati pertandingan final. Aku tak tahu apa yang akan dikatakan oleh pelatihku, yang penting perasaan waktu itu sangat Syur!

Part IV - Di Pesta Dansa

Setelah berbenah diri, kami berempat, Gina, Janet, Ms. Rothen dan aku, menuju tempat untuk naik bus untuk pulang ke rumah masing-masing. Setelah sampai di rumah, aku langsung mandi karena badanku bau keringat dan bau aroma seks. Rasanya enak sekali setelah mandi air dingin. Setengah jam aku mempersiapkan diri untuk pesta perayaan dari pesta olahraga ini. Pesta ini diadakan di pub terkenal di Xiamen yang bernama Cheers Pub. Aku sering ke Cheers Pub dan tahu seluk beluk tempat itu dengan jelas, dan tentu saja aku tahu dimana tempat untuk mengadakan pesta seks tanpa diketahui semua orang.

Aku pun naik taksi untuk menjemput Gina dan kemudian ke Cheers Pub bersamanya. Di dalam taksi, kami berdua sudah terangsang sekali memikirkan apa yang akan terjadi di pub. Jalan-jalan yang sudah gelap itu membuat kami merasa lebih terangsang lagi. Kami pun mulai bercumbu dan mengadakan pemanasan di dalam taksi, dapat kulihat dari sudut mataku bahwa supir taksi ini sudah merasa risih melihat kami berdua melakukan aksi gila di kursi belakang. Aku cuma tersenyum dan berbisik kepada si Gina,
"Eh Gina, rasanya supir taksi ini menikmati apa yang kita lakukan nih..."
"Ah kamu... masa bodoh deh... udah mau nyampe nih.. entar di sana saja kita lanjutin..."

Sesampainya di Cheers Pub, aku melihat Janet bersama dengan Seong Jong, cowok si Janet yang dari Korea. Kulihat senyum nakal si Janet, menandakan bahwa dia ada rencana untuk sesuatu yang exciting. Kami berempat menaiki tangga pub itu untuk ke dance room. Dance room itu telah dipenuhi para atlit dari ketiga sekolah yang ikutan dalam pertandingan. Banyak pasangan yang sedang berdansa mengikuti alunan musik slow yang dimainkan oleh DJ Karsten, salah satu murid sekolahku yang juga merangkap sebagai DJ professional di Cheers Pub.

Kuajak Gina untuk berdansa slow dan Gina pun dengan senang hati menyanggupi permintaanku. Ruangan dansa yang remang-remang itu sangatlah efektif untuk memberikan rangsangan terhadap si Gina. Sambil berdansa, kuremas-remas pantat si Gina dan si Gina pun menaruh kepalanya dipundakku sambil merasakan remasan-remasanku yang mengikuti irama musik slow itu. Gina dengan sengaja menggesekkan bagian pubic area dia dengan batang kemaluanku. Terasa batang kemaluanku itu bangun tegak terhimpit badan kami. Gerakan-gerakan itu tentu saja membuatku tak tahan, kuajak Gina untuk pergi ke tempat persembunyianku dan kucari juga si Janet dan si Seong Jong untuk ikutan bermain seks.

Sewaktu kubuka pintu tempat persembunyianku, betapa kagetnya aku, di dalam terdapat kurang lebih 6 orang, semua aku kenal sedang mengadakan orgy. Wow, si Mario orang Jerman bersama Helen ceweknya orang Taiwan, Seong Bin kakak si Seong Jong bersama Yeslin orang Bandung, Ms. Rothen bersama Mr. Carr guru olahraga yang dari Kanada. Mereka tidak mempedulikan kedatangan kami dan dengan enaknya melanjutkan acara spesial ini. Aku dan Gina memilih satu spot yang lumayan enak, dekat pojokan. Kubuka langsung baju si Gina dan kuciumi dadanya sembari tanganku melepas BH-nya. Berdirilah Gina dengan telanjang dada. Kuciumi langsung buah dada Gina yang terlihat sangat seksi itu. Dia pun mendesah menandakan merasakan betapa nikmatnya jilatanku ke pentilnya. Tangan yang satu mengelus-elus rambutku sementara tangan yang satunya membuka resleting celana jeansku dan mengeluarkan batang kemaluanku yang sudah tegak itu. Kulepas celanaku supaya lebih enak dan kulepas juga celananya. Telanjang bulat kami bermain foreplay di sana, sementara yang lainnya sedang bersetubuh. Aku tak menggubris mereka dan tetap merasa betapa pentingnya foreplay, apalagi dengan cewek sendiri. Kucium dengan mesra dan kugosok-gosokkan batang kemaluanku ke lubang kemaluan si Gina. Batang kemaluanku dicengkeram dengan pahanya, sementara tangannya berada di belakang leherku. Kubuka paha dia perlahan-lahan dengan tanganku dan kutuntun batang kemaluanku untuk masuk ke lubang kemaluannya. Basah dan licin sekali. Aku pun mulai bergerak maju mundur mengikuti ritme musik yang terdengar semu-semu dari pub. Agar posisi lebih enak, maklum hari itu agak capai, kusuruh si Gina yang berada di atas dan "mengendarai" kemaluanku itu.

"Oooh ahhh ooh ahh..." Satu ruangan penuh dengan teriakan penuh nafsu. Janet dan Seong Jong sedang bersetubuh dengan kasar dan keras, Ms. Rothen dan Mr. Carr juga. Seong Bin dan Mario, sedang enak-enaknya menyetubuhi dua lubang si Helen, sementara Helen menjilati lubang kemaluan Yeslin. Terangsang sekali aku jadinya. Gina pun juga mulai hot nih, dia mulai saja naik turun dengan lebih cepat. Aku tetap saja tidak sabar, langsung si Gina kusuruh posisi doggie dan langsung saja kuhantam dari belakang dengan full power dan full throttle.
"Ahhh Kur... Yess... Terusin... Argh... enak Kur....."
Aku tetap saja masuk maju mundur full power, tanganku meremas-remas buah dada si Gina dengan agak kasar. Gina semakin hot dan dia semakin saja mengerang keenakan.
"Cepet Kur... Cepet... nih... enak... Hmmm... Iya.. Cepetan aku sudah mau nyampe nih."
Tidak ada lagi ba bi bu, aku juga merasa mau keluar juga, kupegang pinggang si Gina dan kutusuk-tusuk, kucabik-cabik dengan batang kemaluanku.

"Ah ah ah... ahhh Arghhh!"
"Aku keluaaarrr... sayang...!"

Kupeluk si Gina erat-erat sambil orgasme, dan Gina yang sedang orgasme pun mulai lunglai. Gina mendapatkan orgasme dua detik sebelum aku dapat dan kami pun istirahat sebentar. Aku duduk di pojokan dan Gina juga. Spermaku mengucur keluar sedikit demi sedikit dari lubang kemaluan si Gina. Gila, satu hari itu banyak bersetebuh, capai benar.

read more...

fotografer amatir



Namannya Lia, anak kuliahan di daerah Cihampelas Bandung, itu cewek yang akan dikenalkan Ivan kepadaku. Aku memang minta dicarikan cewek cakep yang dapat dijadikan model untuk latihan fotografi, waktu itu aku lagi hobi berat kegiatan potret memotret.

Sejak aku dibelikan Ayah kamera Nikon F4 SLR 35 mm, kemanapun aku pergi benda jimat itu selalu kutenteng, objek apa saja kujepret. Dari botol-botol sampai kereta api, nenek-nenek, orang lalu lalang, gelandangan, pokoknya apapun menjadi sasaran kameraku, kecuali satu. Motret model bugil..! Nah.., yang satu itu aku terobsesi sekali.

Kebetulan temanku si Ivan dapat merealisasikan obsesiku itu. Tidak tahu dia kenal dari mana tuh cewek, pokoknya sore ini dia janji mau membawa Lia ke tempat kostku. Tempat kostku telah kusulap menjadi studio dadakan. 2 buah lampu Hensel, 2 buah tripod merk Vanguard dan satu payung reflektor yang sengaja kupinjam dari kampus. Untuk objek pendukung, kuatur sofa di depan screen warna putih polos, Lia akan kusuruh pose sesensual mungkin.

Di atas sofa inilah urusan sensual.., eh nanti dulu deh.., pokoknya sebagai fotografer amatiran aku harus dapatkan hasil yang se-artistik mungkin. Untuk itu telah kusiapkan pula 10 rol film merk kodak ektar asa 100. Kusediakan pula asa 1000 untuk intensitas cahaya rendah.

Akhirnya Ivan datang bersama seorang cewek yang lumayan membuatku terpana. Rambut pendek sebahu dengan potongan bob, leher panjang, mengenakan cardigan warna ungu muda, dalaman Kamisol warna putih berbahu rendah hingga kulit lehernya yang putih membuatku geregetan ingin menciumnya. Ke bawah, rok mini tipis motif bunga-bunga, pokoknya totally good looking in all side.

"Lia.." ucapnya tersenyum manis sekali sambil menyodorkan tangannya.
"Ridwan.." balasku.
Si Ivan memang hapal sekali tipe cewek yang kusuka. Aku jadi sangat bersemangat, tapi juga sedikit grogi saat berpandangan mata dengan Lia. Matanya itu..! Magnetizing tapi aku tidak boleh kikuk, untuk memperlihatkan kesan bahwa aku sudah biasa melakukan pemotretan model.

"Gini Lia, Ivan udah ngejelasin kan..?"
"Iya sih dikit, untuk studi kan..?"
"He-eh, tapi gue pingin mastiin lagi elo bener-bener bersedia..?"
Lia menangguk pasti, "Tapi gue berhak untuk nyimpen semua filmnya khan..?" tanyanya.
"Deal..!"
Aku mengerti sekali doi tidak ingin fotonya itu tersebar kemana-mana.

"Tapi ini sukarela lho.., maksud gue karena bukan buat publikasi jadi nggak ada honor apapun." jelasku, si Ivan mendengarkan serius sekali.
"Nggak apa-apa kok, gue emang pingin tau rasanya difoto bugil." ucapnya manis sekali.
Aku dan Ivan saling memandang penuh arti. Cewek manis ini menyulut sebatang rokok virginia Slim, rupanya doi juga senang eksperimen.

"Gue seneng banget deh, gue janji nanti hasilnya akan gue kasih ke elo."
"Udah siap mulai belum..?" si Ivan menyela.
"Ready, do you..?" tanyaku pada Lia.
Doi tidak menjawab, tapi memasang pose siap.
"Gue harus gimana..?" tanyanya.
Tangannya memegang cardigannya seperti hendak dilepaskan.

"Gini Lia, gue pingin bertahap, gue pingin elo gue potret dengan baju lengkap dulu."
"Tapi gue nggak sempet bawa kostum lho?"
"Nggak apa-apa, pakaian lu oke kok..!" pujiku.
Lia tersipu saat aku memegang bahu Lia sambil membimbingnya ke sofa.
"Posenya gimana..?"
"Terserah loe, make it relax..!"
Kemudian Lia duduk dengan manis di atas sofa, kedua kakinya dirapatkan, aku dapat melihat pada saat ia duduk rok mininya agak ketarik ke atas. Ivan kusuruh mengatur posisi lampu sesuai instruksiku. Setelah mendapatkan pencahayaan yang pas, aku langsung mengambil beberapa shot manis. Lia melakukan beberapa pose yang cukup manis. Kadang-kadang aku dapat mengintip celana dalamnya yang berenda di sela-sela pangkal pahanya.

Pada saat ia duduk tepat menghadap kamera, walaupun pahanya ditutup rapat tapi seragam rok mininya itu pendek sekali. Aku tidak boleh menyia-nyiakan momen seksi itu. Kujepret habis. Gayaku memotret seperti orang pro, padahal aku dak-dik-duk juga.

Setengah rol pertama Lia agak kaku, tapi selebihnya ia mulai luwes. Itu pun setelah beberapa kali aku mengatur posenya, lumayan sambil ngelaba-laba sedikit. Setelah satu rol habis, kudekati dia lagi sambil kusibakkan rambut bob-nya. Aku meminta ijin Lia untuk melepaskan cardigan ungunya.

Agak ragu Lia membiarkan aku melepaskannya. Lumayan membuat terangsang juga saat ia kelihatan makin seksi dengan hanya mengenakan Kamisol putih bertali tipis yang mengekspos keindahan kulit bahu dan lengannya, ditambah pula rok mini yang bawahnya jauh di atas lutut, syurr.. deh. Seksi sekali.

"Lo improve aja ya Li..!"
Beberapa shot langsung kuambil. Walau awalnya malu-malu, lama-lama sepertinya ia excited sendiri, posenya semakin seksi. Aku memotret sambil mengamati kulitnya yang banyak terekspos dari leher, dada, punggung, paha. Busyet.., putih sekali nih anak. Pose demi pose yang dilakukan Lia sungguh apetizing, membuatku terangsang, mungkin si Ivan juga yang dari tadi pasif sekaran sibuk mengamati.

Setelah satu rol habis, aku menghampiri Lia, Lia memandangiku sambil tersenyum manis.
"May I..?" tanyaku sambil mencoba melepaskan tali Kamisol di bahu Lia hingga jatuh. Lia mengangguk.
"Kamu kulitnya bagus banget deh..!" aku iseng mengusap kulit lengannya yang indah.
Tampaknya doi juga agak hot, kuturunkan lagi tali Kamisol yang sebelahnya. Kamisolnya jadi agak turun hingga belahan buah dadanya kelihatan jelas. Emang agak datar sih, tapi tetap saja bikin kepala 'pusing'.

"Sekarang coba kamu lepasin Bra-nya ya..!" pintaku, "Tapi Kamisol-nya nggak usah dilepas."
Walaupun Lia anaknya cuek banget, tapi ketika dia mencoba melepaskan Bra-nya, ia kelihatan agak grogi, sambil melihat kami berdua yang juga lumayan tegang.
"Nggak ahh.., gue nggak siap." ucapnya.
Kiami jadi kecewa deh. Si Ivan kini menghampiri Lia dan mencoba membujuk cewek itu.

"Ayo dong Li.., kan kamu udah janji."
"Nggak ah, malu." pipinya merah merona.
Sambil mendekap bahu cewek itu, Ivan berusaha merayu terus, "Kenapa malu..?"
"Toket gue kecil.." ucapnya lucu. Aku langsung gemes sendiri.
"Lho.., nggak kok, toket elu kan bagus, apa perlu gue rangsang dulu..?" si Ivan berhasil memegang buah dada Lia, lalu diremasinya pelan-pelan, Lia meronta manja.

"Heii.. lu kurang ajar banget deh..!" katanya sambil berusaha melepaskan dekapan si Ivan.
Melihat adegan tersebut, aku jadi sirik. Emang sih si Ivan pernah bilang dia pernah ML dengan cewek ini.
"Oke deh tapi jangan terlalu di ekspos ya..?" pintanya.
Sesaat kemudian Lia menaruh tangannya ke belakang untuk melepaskan kaitan BH-nya. Lalu pelan-pelan dilepaskannya benda berenda tersebut, gerakannya seksi sekali.

Kini aku dapat melihat sesuatu yang berwarna coklat muda mengintip di antara tali-tali Kamisol-nya. Merasa jengah kami lihatin, secara refleks tangannya didekapkan ke dadanya, untuk menutupi bagian privacy-nya. Darahku langsung berdesir, indah nian jeritku dalam hati.

"Sekarang gimana..?" ia menunggu instruksiku.
Aku perlu waktu sekian detik untuk meluruskan kembali pikiranku yang sudah ngeres banget.
"Gini deh... Lu topangin lengan lu ke sandaran sofa."
"Begini..?"
"Agak bungkuk dikit..!" aku menghampiri Lia lalu memegang punggungnya yang terbuka, lalu dengan lembut membimbing Lia agar bahunya lebih condong ke depan.
Dengan begitu aku dapat melihat buah dadanya yang mungil dan putih menggelantung. Karena keapit dua lengannya, celah buah dadanya terlihat sangat jelas. Sekilas tampak buah dadanya seperti besar, puting susunya mengintip samar-samar dari balik Kamisol-nya.

"Ya begitu..!"
Lia tersenyum manis sekali menghadap ke kamera, rambut sebahunya jatuh ke depan menutupi sebagian wajahnya yang cantik. Aku beraksi dengan kameraku, mengambil pose demi pose yang sangat merangsang.
"Lu oke banget deh Li..! Coba pose lu lebih seksi lagi ya..?"
"Kayak gimana lagi sih..? Arahin dong..!" pintanya.
Aku menyuruh Lia agak rebah di sofa, kemudian kedua lengannya kuangkat hingga posisinya memegang belakang kepalanya.

Sambil pura-pura serius mengarahkan, aku melaba lagi, mengelus-elus kulitnya yang mulus. Aku melihat puting susunya tercetak di balik kain Kamisol-nya.
"Lu seksi banget deh.." desisku ke kupingnya sambil merapihkan poninya.
"Thanks." ucapnya pelan.
"Yang hot ya..?" pintaku, Lia tersenyum malu-malu.

Aku kembali ke belakang kamera. Lalu Lia beraksi lagi. Kedua tangannya tetap mengangkat sambil memainkan rambutnya, lalu ia sedikit menggeliat. Ketiaknya bersih sekali, hampir tidak ada bulunya. Shot demi shot kuambil. Motor drive yang kusetel 2 shot perdetik memboroskan isi film-ku. Lia nampak makin improve, kakinya dinaikkan ke atas sofa hingga rok mininya ketarik.

Aku dan Ivan melihat dengan jelas bagian bawah pahanya sampai pantat. Segaris celana dalam putih itu beberapa kali terlihat di antara celah kakinya. Busyet, bener-bener bikin kami terangsang. Aku tidak kepikir lagi untuk mengatur cahaya dengan light meter saku, pokoknya segala macam teori kompensasi cahaya sudah hilang di kepalaku karena otakku setengah sadar setengah terangsang.

Tapi aku tidak perlu khawatir, karena aku mengandalkan kecanggihan kameraku yang bukaan lensa serta speed-nya ku-set mode auto. Minimal hasilnya standar, tidak akan terlalu overlighting atau underlighting. Lagian pengukur cahaya dengan sistem matrix yang sudah built-up di kameraku sudah cukup akurat.

Aku suka sekali saat Lia membelakangi kamera, wajahnya menoleh sambil tersenyum manis, kakinya naik ke atas sofa, tanganya memeluk sandaran. Kusuruh Lia agar posisi tubuhnya agak menungging biar pinggulnya benar-benar terekspos frontal ke kamera. Makin kusuruh menungging, roknya makin ketarik habis hingga celana dalamnya makin kelihatan lagi dari belakang. Vaginanya tercetak jelas di balik CD-nya. Aku langsung mengambil beberapa close-up ke arah tersebut. Lampu sorot dan pemandangan tubuh Lia membuatku dan Ivan berkeringat. Rasanya aku tidak sanggup lagi untuk hanya motretin, namanya juga bukan profesional.

"Tahan posisinya ya Lia..!" aku menghampiri Lia lagi yang masih dalam posisi menungging.
Kusingkapkan roknya sampai ke atas sekali, lalu dengan nekat kuraba-raba pantatnya yang seksi itu.
"Sori ya Li, abis lu bikin aku kerangsang."
Lia tersenyum tertahan. Melihat wajah Lia yang juga sudah mesum, tanganku meraba mulai dari bagian dalam paha sampai pantatnya. Kemudian menyelip ke celah kemaluannya. Lia juga sepertinya sudah hot dari tadi, begitu kusosor dia langsung bereaksi postif.

"Gue lepasin CD-nya ya..?"
Lia tidak menjawab, lagi-lagi hanya tersenyum, wajahnya merah. Tanpa ragu kulepaskan celana dalam warna putih tersebut sampai ke lututnya. Vaginanya kini begitu jelas terpampang di depan wajahku. Agar Lia tidak canggung, kupegangi kemaluannya, kuusap-usap dengan lembut. Lubang vaginanya sudah basah sekali, rambutnya hitam dan setengah dicukur.

Sementara di balik jeans. Batang kemaluanku sudah sangat mengeras. Lia kusuruh untuk tetap menungging. Wajahnya kusuruh melihat ke arah kamera, lalu kujepret lagi sampai rol terakhir.
"Please.., jangan potretin lagi deh..!" pinta Lia.
Doi merapatkan kedua pahanya agar kami tidak dapat melihat lagi vaginanya. Rupanya dia sadar bahwa dia terlalu nekat. Tapi aku udah seratus persen terangsang, harus dilepasin. Hanya itu kini yang ada di otakku.

Aku berbisik ke si Ivan bahwa aku ingin cumbuin Lia, Ivan mengerti walaupun berat hati. Dia meninggalkan kami berdua ke luar ruangan. Bilangnya sama si Lia cari udara segar dulu. Tapi sepertinya Lia mengerti maksudku. Dia tersenyum. Saat kuhampiri, dia seperti menunggu. kudekatkan wajahku, lalu doi memberikan bibirnya yang merekah untuk kusosor. Tanganku langsung menyergap buah dadanya, lalu kuremas-remas dengan membabi buta, sementara aku merasakan jemari Lia menyusup ke dalam celana jeans-ku.

Dengan cekatan doi melepaskan resluiting, lalu mengeluarkan batang kejantananku. Aku dikocok-kocoknya dengan gencar, sementara lidahnya menelusuri rongga mulutku dengan penuh nafsu. Busyet..! Ganas juga cewek ini, dalam hati. Mengikuti permainannya yang keras, aku pergencar remasan tanganku ke buah dadanya, putingnya kupilin-pilin. Tidak berhenti di situ, kurogoh selangkangannya, roknya masih melekat di tubuh, telunjuk dan jari tengahku, kususupkan jauh ke dalam lubang kemaluannya yang sudah licin sekali.

Body doi menggelinjang saat jariku mengocok-ngocok. Begitu klitorisnya kupilin-pilin, doi makin kelojotan seperti orang histeris, tampaknya doi orgasme. Aku tidak menyangka ternyata cepat juga klimaksnya. Babak berikutnya dia menghisap batang kemaluanku. Kalau melihat wajahnya yang agak melankolis, aku tidak menyangka kalau doi seliar itu.

Seluruh batangku ditelan habis ke mulutnya yang kecil mungil, lalu disedotnya bak vacuum cleaner, kadang-kadang dikeluarin lagi. Lalu lidahnya menjilati dari ujung topi bajaku turun ke buah kembarku, lalu yang membuatku kaget ketika dia menjilati juga lubang anusku. Kalau aku tidak terlatih mengontrol orgasme, mungkin tidak akan sampai 3 menit di-treat seperti itu, tapi diserang habis-habisan seperti itu akhirnya aku bobol juga. Kumuntahkan spermaku di atas permukaan kulit wajahnya yang mulus, sepertinya doi juga puas, dapat membuatku KO.

Beberapa hari kemudian, sesuai dengan janjiku, hasilnya kuperlihatkan dan film-nya kuberikan ke Lia. Doi kecewa, karena saat film-nya kuproses (tentu saja kuproses di kamar gelap sendiri, karena aku tidak berani untuk ke lab foto, takut beredar diluar kontrolku), dari lima rol, dua rol gagal. Cairan developer-nya terlalu kuat.

Aku memang nekat mencoba, padahal masih belum bisa, modal teori saja rupanya tidak cukup. Sementara sisanya berhasil kucetak hitam putih, dengan hasil yang juga menyedihkan. Pencahayaannya berantakan. Tapi kegagalannya bukan ketika saat memotret, tapi memang proses kamar gelap yang asal-asalan.

"Nggak apa-apa deh, paling enggak fotonya nggak akan beredar..." katanya datar.
Doi memang mengaku menyesal dipotretin bugil begitu. Semua hasil fotonya doi simpan semua termasuk yang ada di tanganku. Aku pun tidak menyesal-nyesal banget. Yang penting aku puas motretin doi dan yang paling penting lagi, di'sepongin' doi.





read more...

cewek SMU di desa

Aku tinggal di Cirebon tapi tempat kerjaku di dekat Indramayu yang berjarak sekitar 45 Km dan kutempuh dengan kendaraan kantor (nyupir sendiri) sekitar 1 jam. Bagi yang tahu daerah ini, pasti akan tahu jalan mana yang kutempuh. Setiap pagi kira-kira jam 06.30 aku sudah meninggalkan rumah melewati route jalan yang sama (cuma satu-satunya yang terdekat) untuk berangkat ke kantor. Pagi hari di daerah ini, seperti biasa terlihat pemandangan anak-anak sekolah entah itu anak SD, SMP ataupun SMU, berjajar di beberapa tempat di sepanjang jalan yang kulalui sambil menunggu angkutan umum yang akan mereka naiki untuk ke sekolah mereka masing-masing. Karena angkutan umum sangat terbatas, biasanya mereka melambai-lambaikan tangannya dan mencoba menyetop kendaraan yang lewat untuk mendapatkan tumpangan. Kadang-kadang ada juga kendaraan truk ataupun pick-up yang berhenti dan berbaik hati memberikan tumpangan, sedangkan kendaraan lainnya jarang mau berhenti, karena yang melambai-lambaikan tangannya berkelompok dan berjumlah puluhan.
Suatu hari Senin di bulan Oktober 98, aku keluar dari rumah agak terlambat yaitu jam 06.45 pagi. Kuperhatikan anak-anak sekolah yang biasanya ramai di sepanjang jalan itu mulai agak sepi, mungkin mereka sudah mendapatkan kendaraan ke sekolahnya masing-masing. Saat perjalananku mencapai ujung desa Bedulan (tempat ini pasti dikenal oleh semua orang karena sering terjadi tawuran antar desa sampai saat ini), kulihat ada seorang anak sekolah perempuan yang melambai-lambaikan tangannya.
Setelah kulihat di belakangku tidak ada kendaraan lain, aku mengambil kesimpulan kalau anak sekolah itu berusaha mendapatkan tumpangan dariku dan karena dia seorang diri di sekitar situ maka segera kuhentikan kendaraanku serta kubuka kacanya sambil kutanyakan, "Mau ke mana dik?". Kulihat anak sekolah itu agak cemas dan segera menjawab pertanyaanku, "Pak boleh saya ikut sampai di SMA-------- (edited by Yuri)", dari tadi kendaraan umum penuh terus dan saya takut terlambat?, dengan wajah yang penuh harap. "Yaa..., OK lah.., naik cepat", kataku. "Terima kasih paak", katanya sambil membuka pintu mobilku.

Jarak dari sini sampai di sekolahnya kira-kira 10 Km dan selama perjalanan kuselingi dengan pertanyaan-pertanyaan ringan, sehingga aku tahu kalau dia itu duduk di kelas 3 SMU di------dan bernama War (edited by Yuri). Tinggi badannya kira-kira 155 cm, warna kulitnya bisa dibilang agak hitam bersih dan tidak cantik tapi manis dan menarik untuk dilihat, entah apanya yang menarik, mungkin karena matanya agak sayu.

Tidak terlalu lama, kendaraanku sudah sampai di daerah-------dan War segera memberikan aba-aba. "Ooom..., sekolah saya ada di depan itu", katanya sambil jarinya menunjuk satu arah di kanan jalan. Kuhentikan kendaraanku di depan sekolahnya dan sambil menyalamiku War mengucapkan terima kasih. Sambil turun dari mobil, War masih sempat bertanya, "Oom..., besok pagi saya boleh ikut lagi.., nggak Oom, lumayan Oom..., bisa naik mobil bagus ke sekolah dan sekalian menghemat ongkos.., boleh yaa.. Oom?". Aku tidak segera menjawab pertanyaan itu, tapi kupandangi wajahnya, lalu kujawab, "Boleh boleh saja War ikut Oom, tapi jangan bergerombol ikutnya yaa".
"Enggak deh Oom, saya cuma sendiri saja kok selama ini".

Setiap pagi sewaktu aku mencapai desa itu, War sudah ada di pinggir jalan dan melambaikan tangannya untuk menghentikan mobilku. Dalam setiap perjalanan dia makin lama makin banyak bercerita soal keluarganya, kehidupannya di desa, teman-teman sekolahnya dan dia juga sudah punya pacar di sekolahnya. Ketika kutanya apakah pacarnya tidak marah kalau setiap hari naik mobil orang, War bilang tidak apa-apa tapi tanpa ada penjelasan apapun, sepertinya dia enggan menceritakan lebih jauh soal pacarnya. War juga cerita bahwa selama ini dia tidak pernah kemana-mana, kecuali pernah dua kali di ajak pacarnya piknik ke daerah wisata di Kuningan.

Seminggu kemudian di hari Jum'at, waktu War akan naik di mobilku kulihat wajahnya sedih dan matanya bengkak seperti habis menangis dan War duduk tanpa banyak bicara.
Karena penasaran, kusapa dia, "War, habis nangis yaa..., kenapa..? coba War ceritakan.., siapa tahu Oom bisa membantu". War tetap membisu dan sedikit gelisah. Lama dia diam saja dan aku juga tidak mau mengganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan, tetapi kemudian dia berkata, "Oom, saya habis ribut dengan Bapak dan Ibu", lalu dia diam lagi.
"Kalau War percaya pada Oom, tolong coba ceritakan masalahnya apa, siapa tahu Oom bisa membantu", kataku tetapi War saja tetap membisu.
Ketika mobilku sudah mendekati sekolahnya, tiba-tiba War berkata, "Oom..., boleh nggak War minta waktu sedikit buat bicara di sini, mumpung masih belum sampai di sekolah". Mendengar permintaannya itu, segera saja kuhentikan mobilku di pinggir jalan dan kira-kira jaraknya masih 2 Km dari sekolahnya.

"Ada apa War...?", Kataku. War tetap diam dan sepertinya ada keraguan untuk memulai berbicara.
"Ayoo..., lah War (sebenarnya pengarang penuliskan tiga harus terakhir dari namanya, tapi terpaksa oleh Yuri diganti jadi 3 huruf terdepan), jangan takut atau ragu..., ada apa sebenarnya", tanyaku lagi.
"Begini..., Oom, kata War", lalu dia menceritakan bahwa tadi malam dia minta uang kepada orang tuanya untuk membayar uang sekolahnya yang sudah tiga bulan belum dibayar dan hari ini adalah hari terakhir dia harus membayar, karena kalau tidak dia tidak boleh mengikuti ulangan. Orang tuanya ternyata tidak mempunyai uang sama sekali, padahal uang sekolah yang harus dibayar itu sebesar 80 ribu rupiah. Alasan orang tuanya karena panen padi yang diharapkan telah punah karena hujan yang terus menerus. Dan katanya lagi orang tuanya menyuruh dia berhenti sekolah karena tidak mampu lagi untuk membayar uang sekolah dan mau dikimpoikan dengan tetangganya.

Aku tetap diam untuk mendengarkan ceritanya sampai selesai dan karena War juga terus diam, lalu kutanya, "Teruskan ceritamu sampai selesai War". Dia tidak segera menjawab tapi yang kulihat airmatanya terlihat menggenang dan sambil mengusap air matanya dia berkata, "Oom, sebetulnya masih banyak yang ingin War ceritakan, tapi saya takut nanti Oom terlambat ke kantornya dan War juga harus ke sekolah, serta lanjutnya lagi..., kalau Oom ada waktu dan tidak keberatan, saya ingin pergi dengan Oom supaya saya bisa menceritakan semua masalah pribadi saya". Setelah diam sejenak, lalu War berkata lagi, "Oom, kalau ada dan tidak keberatan, saya mau pinjam uang Oom 80 ribu untuk membayar uang sekolah dan saya janji akan mengembalikan setelah saya dapat dari orang tua saya".

Mendengar cerita War walaupun belum seluruhnya, hatiku terasa tersayat dan segera kurogoh dompetku dan kuambilkan uang 200 ribu dan segera kuberikan padanya.
"Lho Oom, kok banyak benar..., saya takut tidak dapat mengembalikannya", katanya sambil menarik tangannya sebelum uang dari tanganku dipegangnya.
"War.., ambillah..., nggak apa-apa kok, sisanya boleh kamu belikan buku-buku atau apa saja..., saya yakin War membutuhkannya", dan segera kupegang tangannya sambil meletakkan uang itu ditangannya dan sambil kukatakan, "War.., ini nggak usah kamu beritahukan kepada siapa-siapa, juga jangan kepada orang tuamu..., dan War nggak perlu mengembalikannya".

Belum selesai kata-kataku, tiba-tiba saja dari tempat duduknya dia maju dan mencium pipi kiriku sambil berkata, "Terima kasih banyak Oom.., Oom.. sudah banyak menolong saya". Aku jadi sangat terkesiap dan berdebar, bukan karena mendapat ciuman di pipiku, tapi karena tangan kiriku tersentuh buah dadanya yang terasa sangat empuk sehingga tidak terasa penisku menjadi tegang dan sementara War masih mencium pipiku, kugunakan tangan kananku untuk membelai rambutnya dan kucium hidungnya.
"Ayoo..., War..., sudah lama kita di sini, nanti kamu terlambat sekolahnya".
War tidak menjawab tapi kulihat dikedua matanya masih tergenang air matanya. Ketika sudah sampai di depan sekolahnya sambil membuka pintu mobil, War berkata, "Oom.., terima kasih yaa.. Ooom dan kapan Oom ada waktu untuk mendengar cerita War".
"Kalau besok gimana..?, kataku.
"Boleh.., oom", jawabnya cepat.
"Lho..., besok kan masih hari Sabtu dan War kan harus sekolah", jawabku.
"Sekali-kali mbolos kan nggak apa apa Oom..., hari Sabtu kan pelajarannya tidak begitu padat dan kurang penting", kata War.
"Oklah..., kalau begitu..., War, kita ketemu besok pagi ditempat biasa kamu menunggu".

Dalam perjalanan ke kantor setelah War turun, masalah War terasa mengganggu pikiranku sehingga tidak terasa aku sudah sampai di kantor. Sebelum pulang kantor, aku izin untuk tidak masuk besok Sabtu pada Bossku dengan alasan akan mengurus persoalan keluarga di Kuningan. Demikian juga waktu malamnya kukatakan pada istriku kalau aku harus ke Jakarta untuk urusan kantor dan kalau selesainya telat terpaksa harus menginap dan pulang pada hari Minggu.

Besok paginya dengan berbekal 1 stel pakaian yang telah disiapkan oleh Istriku, aku berangkat dan sampai di tempat yang biasa, kulihat War tetap memakai baju seragam sekolahnya. Setelah dia naik ke mobil, kembali kulihat matanya tetap seperti habis menangis.
Lalu kutanya, "War..., habis perang lagi yaa?, soal apa lagi?".
"Oom, ceritanya nanti saja deh", katanya agak malas.
"Kita mau kemana Oom?", Tanyanya.
"Lho..., terserah War saja.., Oom sih ikut saja".
"Oom..., saya kepingin ke tempat yang agak sepi dan nggak ada orang lain..., jadi kalau-kalau War nangis, nggak ada yang melihatnya kecuali Oom".
Sambil memutar mobilku kembali ke arah Cirebon, aku berpikir sejenak mau ke tempat mana yang sesuai dengan permintaan War, dan segera teringat kalau di pinggiran kota Cirebon yang ke arah Kuningan ada sebuah lapangan Golf dan Cottage CPN.
Segera saja kukatakan padanya, "War... Tempat yang sesuai dengan keinginanmu itu kayaknya agak susah, tapi..., bagaimana kalau kita ke CPN saja..?".
"Dimana itu Oom dan tempat apaan?",tanya War.
Aku jadi agak susah menjelaskannya, tapi kujawab saja, "Tempatnya sih nggak jauh yaitu sedikit di luar Cirebon dan..., begini saja deh.., War.., kita ke sana dulu dan kalau War kurang setuju dengan tempatnya, kita cari tempat lain lagi".


Setelah sampai di tempat dan mendaftar di receptionist serta memesan minuman ringan serta mengambil kunci kamarnya, segera aku kembali ke mobil dan kutanyakan pada War--"gimana War.., kamu mau disini..?, lihat saja tempatnya sepi (maklum saja masih pagi-pagi. Receptionistnya saja seperti terheran-heran, sepertinya berfikir kok ada tamu pagi-pagi sekali dan nomor mobilnya bukan dari luar kota).

Setelah mobil kuparkir di depan kamar, sebelum turun kutanya dia kembali, "War..., gimana.., mau di sini? atau mau cari tempat lain?". War tidak segera menjawab pertanyaanku, tapi dia ikut turun dari mobil dan mengikutiku ke arah pintu kamar motel. Segera setelah sampai di dalam, dia langsung duduk di tempat tidur sambil memperhatikan seluruh ruangan. Karena kulihat dia tetap diam saja, aku jadi merasa tidak enak dan segera kudekati dia yang masih tetap duduk di pinggiran tempat tidur dan sambil agak berlutut, kucium keningnya beberapa saat dan tiba-tiba saja War memelukku dan terdengar tangisan lirih sambil terisak-isak. Sambil masih memelukku, kuangkat berdiri dari duduknya dan kuelus-elus rambutnya, sambil kucium pipinya serta kukatakan, "War coba tenangkan dirimu dan ceritakan semua masalah mu pada Oom..., siapa tahu Oom bisa membantumu dalam memecahkan masalahmu itu". War masih saja memelukku tapi senggukan tangisnya mulai mereda. Beberapa saat kemudian kubimbing dia ke arah tempat tidur dan perlahan kutelentangkan War di tempat tidur dan kurangkulkan tangan kiriku di bahunya dan kupandangi wajahnya, sambil kukatakan, "War cobalah ceritakan masalahmu itu dan biar Oom bisa mengetahui permasalahanmu itu".

War tetap diam saja dan memejamkan matanya, tapi tak lama kemudian, sambil menyeka air matanya dia membuka matanya dan memandang ke arahku yang jaraknya antara wajahnya dan wajahku sangat dekat sekali.
"Oom...", katanya seperti akan memulai bercerita, tapi lalu dia diam lagi. "War...", kataku sambil kucium pipinya dan kuusap-usapkan jari tangan kananku di rambutnya, "cerita lah".

Lalu War mulai bercerita dan dia menceritakan secara panjang lebar soal kehidupan keluarganya yang miskin, dia anak pertama dari 3 bersaudara, tentang pacarnya di sekolah tapi lain kelas yang sudah 2 tahun pacaran dan sekarang sudah meninggalkan dia karena mendapatkan pacar baru di kelasnya dan dia juga menceritakan kalau orang tuanya sudah menjodohkan dengan tetangganya yang sudah punya istri dan anak, tapi kaya dan rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah War dan dia harus segera berhenti dari sekolahnya karena akan dikimpoikan pada bulan Maret akan datang. War katanya kepingin sekolah dulu dan belum pingin kimpoi, apalagi kimpoi dengan orang yang sudah punya Istri dan anak. War punya keinginan mau lari dari rumahnya, tapi tidak tahu mau ke mana. War juga menceritakan bahwa sebetulnya dia masih cinta kepada kawan sekolahnya itu, apalagi dia sudah telanjur pernah tidur bersama sewaktu piknik ke Kuningan dulu, walaupun katanya dia tidak yakin kalau punya pacarnya itu sudah masuk ke vaginanya apa belum, karena belum apa-apa sudah keluar katanya.

"Jadi..., gimana.., Oom.., apa yang harus saya perbuat dengan masalah ini, katanya setelah menyelesaikan ceritanya.
"War", kataku sambil kembali kuelus-elus rambutnya dan kucium pipinya di dekat bibirnya.
"War..., masalahmu kok begitu rumit, terutama persoalan lamaran tetanggamu itu. Begini saja War..., sebaiknya kamu minta kepada orangtuamu untuk menunda perkimpoian itu sampai kamu selesai sekolah. Bilang saja..., kalau ujian SMA-mu hanya tinggal beberapa bulan lagi".
"Katakan lagi..., sayang kalau biaya yang telah dikeluarkan selama hampir tiga tahun di SMA harus hilang percuma tanpa mendapatkan Ijasah. War..., sewaktu kamu mengatakan ini semua, jangan pakai emosi, katakan dengan lemah lembut, mudah-mudahan saja orang tuamu mau mengerti dan mengundurkan perjodohanmu dengan tetanggamu itu".
"Kalau orang tuamu setuju, jadi kamu bisa konsentrasi untuk menyelesaikan sekolahmu dan yang lainnya bisa dipikirkan kemudian".
Setelah selesai memberikan saran ini, lalu kembali kucium pipinya seraya kutanya..., "War..., bagaimana pendapatmu dengan saran Oom ini?".
Seraya saja War bangkit dari tidurnya dan memelukku erat-erat sambil menciumi pipiku dan berkata, "Ooom..., terima kasih.., atas saran Oom ini..., belum terpikir oleh saya sebelumnya hal ini..., Oom sangat baik terhadap War entah bagaimana caranya saya membalas kebaikan Oom", dan terasa air matanya menetes di pipiku.

Setelah diam sesaat, kembali kurebahkan badan War telentang dan kulihat dari matanya yang tertutup itu sisa air matanya dan segera kucium kedua matanya dan sedikit demi sedikit cimmanku kuturunkan ke hidungnya dan terus turun ke pipi kirinya, setelah itu kugeser ciumanku mendekati bibirnya. Karena War masih tetap diam dan tidak menolak, keberanianku semakin bertambah dan secara perlahan-lahan kugeser ciumanku ke arah bibirnya, dan tiba-tiba saja War menerkam dan memelukku serta mencari bibirku dengan matanya yang masih tertutup. Aku berciuman cukup lama dan sesekali lidahku kujulurkan ke dalam mulutnya dan War mengisapnya. Sambil tetap berciuman, kurebahkan badannya lagi dan tangan kananku segera kuletakkan tepat di atas buah dadanya yang terasa sangat kenyal dan sedikit kuremas. Karena tidak ada reaksi yang berlebihan serta War bukan saja mencium bibirku tapi seluruh wajahku, maka satu persatu kancing baju SMU-nya berhasil kulepas dan ketika kusingkap bajunya, tersembul dua bukit yang halus tertutup BH putih tipis dan ukurannya tidak terlalu besar.

Ketika kucoba membuka baju sekolahnya dari tangan kanannya, War kelihatannya tetap diam dan malah membantu dengan membengkokkan tangannya. Setelah berhasil melepas baju dari tangan kanannya, segera kucari kaitan BH-nya di belakang dan dengan mudah kutemukan serta kulepaskan kaitannya, sementara itu kami masih tetap berciuman, kadang dibibir dan sesekali di seluruh wajah bergantian. BH-nya pun dengan mudah kulepas dari tangan kanannya dan ketika kusingkap BH-nya, tersembul buah dada War yang ukurannya tidak terlalu besar tapi menantang dan dengan puting susunya berwarna kecoklatan.

Dan dengan tidak sabar dan sambil meremas pelan payudara kanannya, kuturunkan wajahku menyelusuri leher dan terus ke bawah dan sesampainya di payudaranya, kujilati payudara War yang menantang itu dan sesekali kuhisap puting susunya, sementara War meremas-remas rambutku seraya terdengar suara lirih, "aahh..., aahh..., ooomm..., ssshh..., aahh". Aku paling tidak tahan kalau mendengar suara lirih seperti ini, serta merta penisku semakin tegang dan kugunakan kesempatan ini sambil tetap menjilati dan menghisap payudara War, kugunakan tangan kananku untuk menelusuri bagian bawah badan War

Ketika sampai di celana dalamnya serta kuelus-elus vaginanya, terasa sekali ada bagian CD yang basah. Sambil masih tetap menjilati payudara War, kugunakan jari tanganku menyusup masuk dari samping CD-nya untuk mencari bibir vaginanya dan ketika dapat dan kuelus, badan War terasa menggelinjang dan membukakan kakinya serta kembali terdengar, "aahh..., ssshh..., ssshh..., aahh". Aku jadi semakin penasaran saja mendengar suara War mengerang lirih seperti itu. Segera kulepas tanganku yang ada di vaginanya dan sekarang kugunakan untuk mencari kancing atau apapun yang ada di Rok sekolahnya untuk segera kulepas. Untung saja rok sekolah yang dipakai adalah rok standard yaitu ada kaitan sekaligus ritsluiting, sehingga dengan mudah kutemukan dan kubuka kaitan dan ritsluitingnya, sehingga roknya menjadi longgar di badan War.

Lalu perlahan-lahan kuturunkan badanku serta ciumanku menelusuri perut War seraya tanganku berusaha menurunkan roknya. Roknya yang sudah longgar itu dengan mudah kuturunkan ke arah kakinya dan kuperhatikan War mengenakan CD warna merah muda dan kulihat juga vaginanya yang menggunung di dalam CD-nya.

Badan War menggelinjang saat ciumanku menelusuri perut dan pada saat ciumanku mencapai CD di atas gunungan vaginanya, gelinjang badan War semakin keras dan pantatnya seakan diangkat serta tetap kudengar suaranya yang lirih sambil meremas-remas rambutku agak keras serta sesekali memanggil, "ssshh..., aahh..., ssshht..., ooom..., aahh". Sambil kujilati lipatan pahanya, kuturunkan CD-nya perlahan-lahan dan setelah setengahnya terbuka, kuperhatikan vagina War masih belum banyak ditumbuhi bulu sehingga terlihat jelas belahan vaginanya dan basah.

Setelah berhasil melepas CD-nya dari kedua kaki War yang masih menjulur di lantai, kuposisikan badanku diantara kedua paha War sambil merenggangkan kedua pahanya. Dengan pelan-pelan kujulurkan lidahku dan kujilati belahan vaginanya yang agak terbuka akibat pahanya kubuka agak lebar. Bersamaan dengan jilatanku itu, tiba-tiba War bangun dari tidurnya dan berkata, "Jaa..., ngaan..., Ooom", sambil mencoba mengangkat kepalaku dengan kedua tangannya.

Karena takut War akan marah, maka dengan terpaksa aku bangkit dan kupeluk War serta berusaha menidurkannya lagi sambil kucium bibirnya untuk menenangkan dirinya. War tidak memberikan komentar apa-apa, tapi kami kembali berciuman dan War sepertinya lebih bernafsu dari sebelumnya dan lebih agresif menciumi seluruh wajahku. Sementara itu tanganku kugunakan untuk melepas baju dan BH War yang sebelah dan yang tadi belum sempat kulepas, War sepertinya mendiamkan saja, malah sepertinya membantuku dengan memiringkan badannya agar bajunya mudah kulepas. Sambil tetap berciuman, sekarang aku berusaha untuk melepas baju dan celanaku sendiri.

Setelah aku berhasil melepas semua pakaianku termasuk CD-ku, lalu dengan harap-harap cemas karena aku takut War akan menolaknya, aku menempatkan diriku yang tadinya selalu di samping kiri atau kanan badan War, sekarang aku naik di atas badan War. Perkiraanku ternyata salah, setelah aku ada di atas badan War, ternyata dia malah memelukkan kedua tangannya di punggungku sambil sesekali menekan-nekan. Dalam posisi begini, terasa penisku agak sakit karena tertindih di antara badanku dan paha War. Karena tidak tahan, segera kuangkat kaki kananku untuk mencari posisi yang nikmat, tapi bersamaan dengan kakiku terangkat, kurasakan War malah merenggangkan kedua kakinya agak lebar, tentu saja kesempatan ini tidak kusia-siakan, segera saja kutaruh kedua kakiku di bagian tengah kedua kakinya yang dilebarkan itu dan sekarang terasa penisku berada di atas vagina War. War masih memelukkan kedua tangannya di punggungku dan meciumi seluruh wajahku.

Sambil masih tetap kujilat dan ciumi seluruh wajahnya, kuturunkan tanganku ke bawah dan sedikit kumiringkan badanku, perlahan-lahan kuelus vagina War yang menggembung dan setelah beberapa saat lalu kupegang bibir vaginanya dengan jariku dan kurasakan kedua tangan War serasa mencekeram di punggungku dan ketika jari tengahku kugunakan untuk mengelus bagian dalam vaginanya, terasa vagina War sangat basah dan kurasakan badan bawah War bergerak perlahan-lahan sepertinya mengikuti gerakan jari tanganku yang sedang mengelus dan meraba bagian dalam vaginanya dan sesekali kupermainkan clitorisnya dengan jari-jariku sehingga War sering berdesis, "Ssshh..., ssshh..., aahh..., ssshh", sambil kurasakan jari kedua tangannya menusuk punggungku.

Setelah sekian lama kupernainkan vaginanya dengan jariku, kemudian kulepaskan jariku dari vagina War dan kugunakan tangan kananku untuk memegang penisku serta segera saja penisku kuarahkan ke vagina War sambil kugosok-gosokan ke atas dan ke bawah sepanjang bagian dalam vagina War, serta kembali kudengar desis suaranya, "ssshh..., ssshh..., ooom..., aahh..., ssshh", dan pantatnya diangkat naik turun pelan-pelan. Karena kulihat War sudah sangat terangsang nafsunya, segera saja kuhentikan gerakan tanganku dan kutujukan penisku ke arah bawah bagian vaginanya dan setelah kurasa pas, segera kulepaskan tanganku dan kutekan pelan-pelan penisku k edalam vagina War.

Kuperhatikan wajah War agak mengerenyit seperti menahan rasa sakit serta menghentikan gerakan pantatnya serta bersuara pelan tepat di dekat telingaku, "Aduuuhh..., ooomm..., Jangaannn..., sakiiittt..., Asiihh.., takuuut., Oom". Mendengar suaranya yang sedikit menghiba itu, segera kuhentikan tusukan penisku dan kuelus-elus dahinya sambil kucium telinganya serta kubisikan, "Tidak..., apa-apa..., sayaang..., Oom..., pelan-pelan saja..., kok", untuk menenangkan ketakutan War. War tidak segera menanggapi kata-kataku dan tetap diam saja dengan tetap masih memelukkan kedua tangannya di punggungku.

Karena dia diam saja dan memejamkan kedua matanya, segera secara perlahan-lahan, kutusukan kembali penisku ke dalam vaginanya dan terdengar lagi War berkata lirih di dekat telingaku, "Aduuuhh..., sakiiittt..., ooom..., Asihh.., takuuut", padahal kurasakan kalau War mulai lagi menggerakkan pantatnya perlahan-lahan.

Mendengar kata-katanya yang lirih ini, kembali kuhentikan tusukan penisku tapi masih tetap ditempatnya yaitu di lubang vaginanya, dan kembali kuciumi bibir dan wajahnya serta kuelus-elus rambutnya sambil kubisiki, "Takut apa sayang..". War tidak segera menjawab pertanyaanku itu. Sambil menunggu jawabannya, kuteruskan ciumanku di bibirnya dan War mulai lagi melayani ciumanku itu dengan memainkan lidahku yang kujulurkan ke dalam mulutnya dan kurasakan War mulai memindahkan kedua tangannya dari punggung ke atas pantatku. Aku tetap bersabar menunggu dan tidak terburu-buru untuk menusukkan penisku lagi. Tetap dengan masih menghisap lidahku, kurasakan kedua tangan War sedikit menekan pantatku, entah perintah supaya aku menusukkan penisku ke vaginanya atau hanya perasaanku saja.

Sementara aku diamkan saja dan dengan masih berciuman, kutunggu reaksi War selanjutnya. Ketika ciumanku kualihkan ke daerah dekat telinganya, kulihat War berusaha mengelak mungkin karena kegelian dan kembali kurasakan kedua tangannya seperti menekan pantatku. Lalu kembali kulumat bibirnya dan perlahan tapi pasti, kembali kutekan penisku ke dalam liang kewanitaannya, tapi War tidak kuberi kesempatan untuk berkata-kata karena mulutnya kusumpal dengan mulutku dan penisku makin kutekankan ke dalam vaginanya serta kulihat mata War menutup rapat-rapat seperti menahan sakit.

Karena penisku belum juga menembus vaginanya, lalu sedikit kuangkat pantatku dan kembali kutusukkan ke dalam vagina War dan, "Bleeesss", terasa penisku sepertinya sudah menembus vagina War dan, "aahh..., sakiiit..., ooom

Ketika sampai di celana dalamnya serta kuelus-elus vaginanya, terasa sekali ada bagian CD yang basah. Sambil masih tetap menjilati payudara War, kugunakan jari tanganku menyusup masuk dari samping CD-nya untuk mencari bibir vaginanya dan ketika dapat dan kuelus, badan War terasa menggelinjang dan membukakan kakinya serta kembali terdengar, "aahh..., ssshh..., ssshh..., aahh". Aku jadi semakin penasaran saja mendengar suara War mengerang lirih seperti itu. Segera kulepas tanganku yang ada di vaginanya dan sekarang kugunakan untuk mencari kancing atau apapun yang ada di Rok sekolahnya untuk segera kulepas. Untung saja rok sekolah yang dipakai adalah rok standard yaitu ada kaitan sekaligus ritsluiting, sehingga dengan mudah kutemukan dan kubuka kaitan dan ritsluitingnya, sehingga roknya menjadi longgar di badan War.

Lalu perlahan-lahan kuturunkan badanku serta ciumanku menelusuri perut War seraya tanganku berusaha menurunkan roknya. Roknya yang sudah longgar itu dengan mudah kuturunkan ke arah kakinya dan kuperhatikan War mengenakan CD warna merah muda dan kulihat juga vaginanya yang menggunung di dalam CD-nya.

Badan War menggelinjang saat ciumanku menelusuri perut dan pada saat ciumanku mencapai CD di atas gunungan vaginanya, gelinjang badan War semakin keras dan pantatnya seakan diangkat serta tetap kudengar suaranya yang lirih sambil meremas-remas rambutku agak keras serta sesekali memanggil, "ssshh..., aahh..., ssshht..., ooom..., aahh". Sambil kujilati lipatan pahanya, kuturunkan CD-nya perlahan-lahan dan setelah setengahnya terbuka, kuperhatikan vagina War masih belum banyak ditumbuhi bulu sehingga terlihat jelas belahan vaginanya dan basah.

Setelah berhasil melepas CD-nya dari kedua kaki War yang masih menjulur di lantai, kuposisikan badanku diantara kedua paha War sambil merenggangkan kedua pahanya. Dengan pelan-pelan kujulurkan lidahku dan kujilati belahan vaginanya yang agak terbuka akibat pahanya kubuka agak lebar. Bersamaan dengan jilatanku itu, tiba-tiba War bangun dari tidurnya dan berkata, "Jaa..., ngaan..., Ooom", sambil mencoba mengangkat kepalaku dengan kedua tangannya.

Karena takut War akan marah, maka dengan terpaksa aku bangkit dan kupeluk War serta berusaha menidurkannya lagi sambil kucium bibirnya untuk menenangkan dirinya. War tidak memberikan komentar apa-apa, tapi kami kembali berciuman dan War sepertinya lebih bernafsu dari sebelumnya dan lebih agresif menciumi seluruh wajahku. Sementara itu tanganku kugunakan untuk melepas baju dan BH War yang sebelah dan yang tadi belum sempat kulepas, War sepertinya mendiamkan saja, malah sepertinya membantuku dengan memiringkan badannya agar bajunya mudah kulepas. Sambil tetap berciuman, sekarang aku berusaha untuk melepas baju dan celanaku sendiri.

Setelah aku berhasil melepas semua pakaianku termasuk CD-ku, lalu dengan harap-harap cemas karena aku takut War akan menolaknya, aku menempatkan diriku yang tadinya selalu di samping kiri atau kanan badan War, sekarang aku naik di atas badan War. Perkiraanku ternyata salah, setelah aku ada di atas badan War, ternyata dia malah memelukkan kedua tangannya di punggungku sambil sesekali menekan-nekan. Dalam posisi begini, terasa penisku agak sakit karena tertindih di antara badanku dan paha War. Karena tidak tahan, segera kuangkat kaki kananku untuk mencari posisi yang nikmat, tapi bersamaan dengan kakiku terangkat, kurasakan War malah merenggangkan kedua kakinya agak lebar, tentu saja kesempatan ini tidak kusia-siakan, segera saja kutaruh kedua kakiku di bagian tengah kedua kakinya yang dilebarkan itu dan sekarang terasa penisku berada di atas vagina War. War masih memelukkan kedua tangannya di punggungku dan meciumi seluruh wajahku.

Sambil masih tetap kujilat dan ciumi seluruh wajahnya, kuturunkan tanganku ke bawah dan sedikit kumiringkan badanku, perlahan-lahan kuelus vagina War yang menggembung dan setelah beberapa saat lalu kupegang bibir vaginanya dengan jariku dan kurasakan kedua tangan War serasa mencekeram di punggungku dan ketika jari tengahku kugunakan untuk mengelus bagian dalam vaginanya, terasa vagina War sangat basah dan kurasakan badan bawah War bergerak perlahan-lahan sepertinya mengikuti gerakan jari tanganku yang sedang mengelus dan meraba bagian dalam vaginanya dan sesekali kupermainkan clitorisnya dengan jari-jariku sehingga War sering berdesis, "Ssshh..., ssshh..., aahh..., ssshh", sambil kurasakan jari kedua tangannya menusuk punggungku.

Setelah sekian lama kupernainkan vaginanya dengan jariku, kemudian kulepaskan jariku dari vagina War dan kugunakan tangan kananku untuk memegang penisku serta segera saja penisku kuarahkan ke vagina War sambil kugosok-gosokan ke atas dan ke bawah sepanjang bagian dalam vagina War, serta kembali kudengar desis suaranya, "ssshh..., ssshh..., ooom..., aahh..., ssshh", dan pantatnya diangkat naik turun pelan-pelan. Karena kulihat War sudah sangat terangsang nafsunya, segera saja kuhentikan gerakan tanganku dan kutujukan penisku ke arah bawah bagian vaginanya dan setelah kurasa pas, segera kulepaskan tanganku dan kutekan pelan-pelan penisku k edalam vagina War.

Kuperhatikan wajah War agak mengerenyit seperti menahan rasa sakit serta menghentikan gerakan pantatnya serta bersuara pelan tepat di dekat telingaku, "Aduuuhh..., ooomm..., Jangaannn..., sakiiittt..., Asiihh.., takuuut., Oom". Mendengar suaranya yang sedikit menghiba itu, segera kuhentikan tusukan penisku dan kuelus-elus dahinya sambil kucium telinganya serta kubisikan, "Tidak..., apa-apa..., sayaang..., Oom..., pelan-pelan saja..., kok", untuk menenangkan ketakutan War. War tidak segera menanggapi kata-kataku dan tetap diam saja dengan tetap masih memelukkan kedua tangannya di punggungku.

Karena dia diam saja dan memejamkan kedua matanya, segera secara perlahan-lahan, kutusukan kembali penisku ke dalam vaginanya dan terdengar lagi War berkata lirih di dekat telingaku, "Aduuuhh..., sakiiittt..., ooom..., Asihh.., takuuut", padahal kurasakan kalau War mulai lagi menggerakkan pantatnya perlahan-lahan.

Mendengar kata-katanya yang lirih ini, kembali kuhentikan tusukan penisku tapi masih tetap ditempatnya yaitu di lubang vaginanya, dan kembali kuciumi bibir dan wajahnya serta kuelus-elus rambutnya sambil kubisiki, "Takut apa sayang..". War tidak segera menjawab pertanyaanku itu. Sambil menunggu jawabannya, kuteruskan ciumanku di bibirnya dan War mulai lagi melayani ciumanku itu dengan memainkan lidahku yang kujulurkan ke dalam mulutnya dan kurasakan War mulai memindahkan kedua tangannya dari punggung ke atas pantatku. Aku tetap bersabar menunggu dan tidak terburu-buru untuk menusukkan penisku lagi. Tetap dengan masih menghisap lidahku, kurasakan kedua tangan War sedikit menekan pantatku, entah perintah supaya aku menusukkan penisku ke vaginanya atau hanya perasaanku saja.

Sementara aku diamkan saja dan dengan masih berciuman, kutunggu reaksi War selanjutnya. Ketika ciumanku kualihkan ke daerah dekat telinganya, kulihat War berusaha mengelak mungkin karena kegelian dan kembali kurasakan kedua tangannya seperti menekan pantatku. Lalu kembali kulumat bibirnya dan perlahan tapi pasti, kembali kutekan penisku ke dalam liang kewanitaannya, tapi War tidak kuberi kesempatan untuk berkata-kata karena mulutnya kusumpal dengan mulutku dan penisku makin kutekankan ke dalam vaginanya serta kulihat mata War menutup rapat-rapat seperti menahan sakit.

Karena penisku belum juga menembus vaginanya, lalu sedikit kuangkat pantatku dan kembali kutusukkan ke dalam vagina War dan, "Bleeesss", terasa penisku sepertinya sudah menembus vagina War dan, "aahh..., sakiiit..., ooom….", kudengar suara War sambil seperti menahan rasa sakit dan berusaha menarik pantatku. Untuk sementara tidak kugerakkan pantatku dan setelah kulihat War mulai tenang dan kembali mau menciumi wajahku, lalu perlahan-lahan kutekan penisku yang sudah menembus vaginanya supaya masuk lebih dalam lagi

"aahh..., oom..., pelan..., pelaan..", kudengar War berkata lirih.
"Iyaa..., sayaang..., ooom pelah-pelan", jawabku serta kubelai rambutnya. Setelah kudiamkan sebentar, lalu kugerakkan pantatku naik turun sangat pelan agar War tidak merasa kesakitan, dan ternyata berhasil, wajah War keperhatikan tidak tegang lagi sehingga pergerakan penisku keluar masuk vagina War sedikit kupercepat dan belum berapa lama terdengar suara War, "ooom..., ooom..., aaduuuhh..., ooomm..., aahh", sambil kedua tangannya mencengkeram punggungku dengan kuat dan menciumi keseluruhan wajahku dengan sangat bernafsu dan badannya berkeringat, lalu War berteriak agak keras, "aahh..., ooomm..., aduuuhh..", lalu War terkapar dan terdiam lemas dengan nafas terengah-engah. Rupanya Aku yakin kalau War sudah mencapai orgasmenya padahal nafsuku baru saja akan naik. Karena kulihat War sepertinya sedang kelelahan dengan kedua matanya tertutup rapat, jadi timbul rasa kasihanku, lalu sambil kuseka keringat wajahnya kuciumi pipi dan bibirnya dengan lembut, tapi War tidak bereaksi dan tanpa kuduga di gigitnya bibirku yang sedang menciumnya seraya berkata lirih, "ooom..., nakal..., yaa, War baru sekali ini merasakan hal seperti tadi", sambil mencubit punggungku. Aku tidak menjawab komentarnya tapi yang kuperhatikan adalah nafasnya sudah mulai teratur dan secara perlahan-lahan aku mulai menggerakkan penisku lagi keluar masuk vagina War.

Kuperhatikan War mulai terangsang lagi, War mulai menghisap bibirku dan mulai mencoba menggerakkan pantatnya pelan-pelan dan gerakannya ini membuat penisku seperti di pelintir keenakan. Gerakan penisku keluar masuk semakin kupercepat dan demikian juga War mulai makin berani mempercepat gerakan putaran pantatnya, sambil sesekali kedua tangannya yang dipelukkan dipinggangku berusaha menekan sepertinya menyuruhku untuk memasukkan penisku ke dalam vaginanya lebih dalam lagi dan kudengar War mulai bersuara lagi..., "aahh..., aahh..., ooohh..., oomm..., aah", dan tidak terasa akupun mulai berkicau, "aacchh..., aahh..., Siiihh..., enaakk..., teruuus..., Siiih". Ketika nafsuku sudah mulai memuncak dan kudengar juga nafas War semakin cepat, dengan perlahan-lahan kupeluk badan War dan segera kubalik badannya sehingga sekarang War sudah berada di atasku dan kupelukkan kedua tanganku di pantatnya, sedangkan wajah War ditempelkan di wajahku. Dengan sedikit makan tenaga, kucoba menggerakkan pantatku naik turun dan setiap kali pantatku naik, kugunakan kedua tanganku menekan pantat War ke bawah dan bisa kurasakan kalau penisku masuk lebih dalam di vagina War, sehingga setiap kali kudengar suaranya sedikit keras, "aahh..., oooh". Dan mungkin karena keenakan, sekarang gerakan War malah lebih berani dengan menggerakkan pantatnya naik turun sehingga kedua tanganku tidak perlu menekannya lagi dan setiap kali pantatnya menekan ke bawah sehingga penisku serasa masuk semuanya di vagina War, kudengar dia bersuara keenakan, "Aahh..., aah disertai nafasnya yang semakin cepat, demikian juga aku sambil berusaha menahan agar maniku tidak segera keluar.

Gerakan War semakin cepat saja dan kurasakan wajahnya semakin ditekankan ke wajahku sehingga kudengar nafasnya yang sangat cepat itu di dekat telingaku dan, "Aduuuh..., aahh..., aahh..., ooomm.., War..., mauuu.., keluaar..., aah".
"Tungguuu..., Waarrr.., kitaa..., samaa..., samaa., ooom.., Jugaa.., mauuu..., keluarr".
"aahh..., aahh..., ooomm", teriak War sambil mengerakkan pantatnya menggila dan akupun karena sudah tidak tahan menahan maniku dari tadi segera kegerakkan pantatku lebih cepat dan, "Crreeettt..., ccrreeett..., ccccrrreeett..., dan "aahh..., siiihh..., ooom keluaar", sambil kutekan pantat War kuat-kuat.

Setelah beristirahat sebentar, kuajak War ke kamar mandi untuk membersihkan badan dan War kembali menjatuhkan badannya di tempat tidur, mungkin masih merasakan kelelahan. Tak terasa jam sudah menunjukkan hampir jam 12 siang dan segera saja kupesan makan siang




read more...

dosen & pembantunya


Cerita ini terjadi saat saya kuliah dulu. Saya saat itu sangat pemalu dan tidak banyak teman wanita. Ceritanya begini, pada waktu ujian tengah semester, saya dipanggil ke rumah dosen wanita yang masih agak muda, sekitar 26 tahun. Ia juga lulusan dari perguruan tinggi tersebut. Dipanggil ke rumahnya karena saya diminta untuk mengurus keperluan dia, karena dia akan ke luar kota. Malam harinya saya pun ke rumahnya sekitar jam 7 malam. Saat itu rumahnya hanya ada pembantu (yang juga masih muda dan cantik). Suaminya ketika itu belum pulang dari rapat di puncak.Saat saya membuka pintu rumahnya, saya agak terbelalak karena dia memakai gaun tidur yang tipis, sehingga terlihat payudara yang menyumbul keluar. Saat saya perhatikan, dia ternyata tidak memakai BH. Terlihat saat itu buah dadanya yang masih tegar berdiri, tidak turun. Putingnya juga terlihat besar dan kemerahan, sepertinya memiliki ukuran sekitar 36B.

Sewaktu saya sedang memperhatikan Dosen saya itu, saya kepergok oleh pembantunya yang ternyata dari tadi memperhatikan saya. Sesaat saya jadi gugup, tetapi kemudian pembantu itu malah mengedipkan matanya pada saya, dan selanjutnya ia memberikan minuman pada saya. Saat ia memberi minum, belahan dadanya jadi terlihat (karena pakaiannya agak pendek), dan sama seperti dosen saya ukurannya juga besar.

Kemudian dosen saya yang sudah duduk di depan saya berkata, (mungkin karena saya melihat belahan dada pembantu itu) "Kamu pingin ya "nyusu" sama buah dada yang sintal..?"
Saya pun tergagap dan menjawab, "Ah... enggak kok Bu..!"
Lalu dia bilang, "Nggak papa kok kalo kamu pingin.., Ibu juga bersedia nyusuin kamu."
Mungkin karena ia saya anggap bercanda, saya bilang saja, "Oh.., boleh juga tuh Bu..!"

Tanpa diduga, ia pun mengajak saya masuk ke ruang kerjanya.
Saat kami masuk, ia berkata, "Andre, tolong liatin ada apaan sih nih di punggung Ibu..!"
Kemudian saya menurut saja, saya lihat punggungnya. Karena tidak ada apa-apa, saya bilang, "Nggak ada apa-apa kok Bu..!"
Tetapi tanpa disangka, ia malah membuka semua gaun tidurnya, dengan tetap membelakangiku. Saya lihat punggungnya yang begitu mulus dan putih. Kemudian ia menarik tangan saya ke payudaranya, oh sungguh kenyal dan besar. Kemudian saya merayap ke putingnya, dan benar perkiraan saya, putingnya besar dam masih keras.

Kemudian ia membalikkan tubuhnya, ia tersenyum sambil membuka celana dalamnya. Terlihat di sekitar kemaluannya banyak ditumbuhi bulu yang lebat.
Kemudian saya berkata, "Kenapa Ibu membuka baju..?"
Ia malah berkata, "Sudah.., tenang saja! Pokoknya puaskan aku malam ini, kalau perlu hingga pagi."
Karena saya ingin juga merasakan tubuhnya, saya pun tanpa basa-basi terus menciuminya dan juga buah dadanya. Saya hisap hingga ia merasa kegelian. Kemudian ia membuka pakaian saya, ia pun terbelalak saat ia melihat batang kejantanan saya.
"Oh, sangat besar dan panjang..! (karena ukuran penis saya memang besar, sekitar 17 cm dan berdiameter 3 cm)"

Dosen saya pun sudah mulai terlihat atraktif, ia mengulum penis saya hingga biji kemaluan saya.
"Ah.. ahh Bu... enak sekali, terus Bu, aku belum pernah dihisap seperti ini..!" desah saya.
Karena dipuji, ia pun terus semangat memaju-mundurkan mulutnya. Saya juga meremas-remas terus buah dadanya, nikmat sekali kata dosen saya. Kemudian ia mengajak saya untuk merubah posisi dan membentuk posisi 69.

Saya terus menjilati vaginanya dan terus memasukkan jari saya.
"Ah.. Andre, aku sudah nggak kuat nih..! Cepat masukkan penismu..!" katanya.
"Baik Bu..!" jawab saya sambil mencoba memasukkan batang kemaluan saya ke liang senggamanya.
"Ah.., ternyata sempit juga ya Bu..! Jarang dimasukin ya Bu..?" tanya saya.
"Iya Andre, suami Ibu jarang bercinta dengan Ibu, karena itu Ibu belum punya anak, ia pun juga sebentar permainannya." jawabnya.
Kemudian ia terus menggelinjang-gelinjang saat dimasukkannya penis saya sambil berkata, "Ohh... ohhh... besar sekali penismu, tidak masuk ke vaginaku, ya Ndre..?"
"Ah nggak kok Bu.." jawab saya sambil terus berusaha memasukkan batang keperkasaan saya.
Kemudian, untuk melonggarkan lubang vaginanya, saya pun memutar-mutar batang kemaluan saya dan juga mengocok-ngocoknya dengan harapan melonggarkan liangnya. Dan betul, lubang senggamanya mulai membuka dan batang kejantanan saya sudah masuk setengahnya.

"Ohhh... ohhh... Terus Ndre, masukkan terus, jangan ragu..!" katanya memohon.
Setelah memutar dan mengocok batang kejantanan saya, akhirnya masuk juga rudal saya semua ke dalam liang kewanitaannya.
"Oohh pssfff... aha hhah.. ah..." desahnya yang diikuti dengan teriakannya, "Oh my good..! Ohhh..!"
Saya pun mulai mengocok batang kemaluan saya keluar masuk. Tidak sampai semenit kemudian, dosen saya sudah mengeluarkan cairan vaginanya.
"Oh Andre, Ibu keluar..." terasa hangat dan kental sekali cairan itu.
Cairan itu juga memudahkan saya untuk terus memaju-mundurkan batang keperkasaan saya. Karena cairan yang dikeluarkan terlalu banyak, terdengar bunyi, "Crep.. crep.. sleppp.. slepp.." sangat keras. Karena saya melakukannya sambil menghadap ke arah pintu, sehingga terdengar sampai ke luar ruang kerjanya.

Saat itu saya sempat melihat pembantunya mengintip permainan kami. Ternyata pembantu itu sedang meremas-remas payudaranya sendiri (mungkin karena bernafsu melihat permainan kami). Oh, betapa bahagianya saya sambil terus mengocok batang keperkasaan saya maju mundur di liang vagina dosen saya. Saya juga melihat tontonan gratis ulah pembantunya yang masturbasi sendiri, dan saya baru kali ini melihat wanita masturbasi.

Setelah 15 menit bermain dengan posisi saya berada di atasnya, kemudian saya menyuruh dosen saya pindah ke atas saya sekarang. Ia pun terlihat agresif dengan posisi seperti itu.
"Aha.. ha.. ha..." ia berkata seperti sedang bermain rodeo di atas tubuh saya.
15 menit kemudian ia ternyata orgasme yang kedua kalinya.
"Oh, cepat sekali dia orgasme, padahal aku belum sekalipun orgasme." batin saya.

Kemudian setelah orgasmenya yang kedua, kami berganti posisi kembali. Ia di atas meja, sedangkan saya berdiri di depannya. Saya terus bermain lagi sampai merasakan batas dinding rahimnya.
"Oh.. oh.. Andre, pelan-pelan Ndre..!" katanya.
Kelihatannya ia memang belum pernah dimasukan batang kemaluan suaminya hingga sedalam ini. 15 menit kemudian ia ternyata mengalami orgasme yang ketiga kalinya.
"Ah Andre, aku keluar, ah... ah... ahhh... nikmat..!" desahnya sambil memuncratkan kembali cairan kemaluannya yang banyak itu.

Setelah itu ia mengajak saya ke bath-tub di kamar mandinya. Ia berharap agar di bath-tub itu saya dapat orgasme, karena ia kelihatannya tidak sanggup lagi membalas permainan yang saya berikan. Di bath-tub yang diisi setengah itu, kami mulai menggunakan sabun mandi untuk mengusap-usap badan kami. Karena dosen saya sangat senang diusap buah dadanya, ia terlihat terus-terusan bergelinjang. Ia membalasnya dengan meremas-remas buah kemaluan saya menggunakan sabun (bisa pembaca rasakan nikmatnya bila buah zakar diremas-remas dengan sabun).

Setelah 15 menit kami bermain di bath-tub, kami akhirnya berdua mencapai klimaks yang keempat bagi dosen saya dan yang pertama bagi saya.
"Oh Andre, aku mau keluar lagi..!" katanya.
Setelah terasa penuh di ujung kepala penis saya, kemudian saya keluarkan batang kejantanan saya dan kemudian mengeluarkan cairan lahar panas itu di atas buah dadanya sambil mengusap-usap lembut.

"Oh Andre, engkau sungguh kuat dan partner bercinta yang dahsyat, engkau tidak cepat orgasme, sehingga aku dapat orgasme berkali-kali. ini pertama kalinya bagiku Andre. Suamiku biasanya hanya dapat membuatku orgasme sekali saja, kadang-kadang tidak sama sekali." ujar dosen saya.
Kemudian karena kekelalahan, ia terkulai lemas di bath-tub tersebut, dan saya keluar ruang kerjanya masih dalam keadaan bugil mencoba mengambil pakaian saya yang berserakan di sana.

Di luar ruang kerjanya, saya lihat pembantu dosen saya tergeletak di lantai depan pintu ruangan itu sambil memasukkan jari-jarinya ke dalam vaginanya. Karena melihat tubuh pembantu itu yang juga montok dan putih bersih, saya mulai membayangkan bila saya dapat bersetubuh dengannya. Yang menarik dari tubuhnya adalah karena buah dadanya yang besar, sekitar 36D. Akhirnya saya pikir, biarlah saya main lagi di ronde kedua bersama pembantunya. Pembantu itu pun juga tampaknya bergairah setelah melihat permainan saya dengan majikannya.

Saya langsung menindih tubuhnya yang montok itu dengan sangat bernafsu. Saya mencoba melakukan perangsangan terlebih dulu ke bagian sensitifnya. Saya mencium dan menjilat seluruh permukaan buah dadanya dan turun hingga ke bibir kemaluannya yang ditumbuhi hutan lebat itu. Tidak berapa lama kemudian, kami pun sudah mulai saling memasukkan alat kelamin kami. Kami bermain sekitar 30 menit, dan tampaknya pembantu ini lebih kuat dari majikannya. Terbukti saat kami sudah 30 menit bermain, kami baru mengeluarkan cairan kemaluan kami masing-masing. Oh, ternyata saya sudah bermain seks dengan dua wanita bernafsu ini selama satu setengah jam. Saya pun akhirnya pulang dengan rasa lelah yang luar biasa, karena ini adalah pertama kalinya saya merasakan bercinta dengan wanita.

Saat ini saya pun sedang mencoba bermain seks lewat chatting dengan orang bule di internet. Tetapi saya ingin merasakan bermain seks dengan wanita Indonesia asli. Dapatkah pembaca membantu saya, silakan kirim email ke saya.




read more...

Cewek Bispak

Film bokep ini tentang cewek bispak yang kenal di carefour yang akhirnya berakhir di ranjang. Berawal ketika mengintip seorang gadis seksi yang melenggang dan memperlihatkan kemulusan pahanya yang putih dan pantat yang padat berisi. Setelah diajak ngobrol dengan cara playboy punya eh malah di tawarin pulang ke kos-kosanya doi. Pucuk di cinta ulam tiba nih…

Film bokep yang dikirim oleh salah satu bokeper asal jakarta ini menceritakan kesuksesan dalam ber-hunting memek ngangur dan yang penting adalah gretongan bo… film bokep ini ada 3 video tapi sudah saya gabung dalam satu file (zip)


download
read more...

jawa tulen lagi nge-bokep

kamu pasti bosen ngeliat bokeb2 yang di bintangi sama pemain luar... nah maka dari itu saya memberikan flm bokeb asli jawa bo....

cakep lagi... rugi deh kalo gak download :P
langsung aja dah di download mumpung anget



download
read more...

Rena Gadis SMU yang Mengairahkan

catatan : mohon dibaca satu-satu, kemungkinan kurangnya pemahaman akan alur dan penokohan dalam cerita menjadi semakin besar apabila beberapa peristiwa terlewatkan, maaf kalau agak berat bagi sebagian pembaca.

Kota X, pertengahan September

Suasana sepulang sekolah merupakan suasana yang cukup menyenangkan apabila semua orang bisa memandangnya dari sudut pandang Mitha. Dan Mitha menikmati setiap peristiwa yang terjadi di depan matanya, merasakan tawa yang keluar dari bibirnya ketika melihat seorang siswa menjatuhkan jajanannya dari kantung tasnya, dan menggelengkan kepalanya ketika melihat dua anak yang saling berpegangan tangan menyusuri lorong-lorong kelas dan tersipu malu tatkala beberapa siswa yang berkerumun menyoraki mereka. Indahnya cinta.
"Mitha," sebuah suara menyapanya, "maaf aku membuatmu menunggu." Mitha menoleh dan melihat Gara berlari-lari kecil menghampirinya sambil terengah-engah. "Ah, ngga apa-apa kok." jawabnya sambil lalu, toh ia menikmati suasana ini.
"Yuk." Gara menggamit lengannya dan menggandengnya menuju parkiran sepeda motor di depan sekolah.

Mitha membiarkan angin menyibak rambutnya saat sepeda motor Gara menelusuri jalan raya menuju ke rumahnya. Tangannya terjulur memeluk pinggang Gara erat-erat, tangannya yang lain memegangi helm yang menutupi kepalanya supaya tidak terbawa oleh angin saat mereka melaju. Mendadak Gara memelankan laju sepeda motornya.
"Mitha," Gara berkata lembut, "kita cari tempat untuk ngobrol yuk."
Mitha mendesah mengiyakan dan merasakan kegalauan yang sejak kemarin mengamuk di hatinya semakin menjadi-jadi.

Gara membelokkan sepeda motornya memasuki sebuah gang kecil, menelusuri jalanan sempit itu, dan berhenti di pekarangan sebuah rumah kecil yang rindang ditumbuhi pepohonan. Mitha semakin kacau. Gara menurunkan penopang sepeda motornya, menunggu sampai Mitha turun, dan melangkah ke arah teras rumah. Mitha menggenggam tali tasnya erat-erat, mencoba mengusir galau hatinya dan mengikuti langkah Gara. Mitha mendudukkan dirinya di atas kursi taman di depan Gara duduk, menatap lurus ke ujung-ujung sepatunya.

Mitha memejamkan matanya mendengar setiap kata-kata penjelasan Gara. Air mata mulai mendesak keluar dari kantung matanya. "Maafkan aku," desis Gara. Ah, mungkin kata-kata itulah yang paling banyak dilatihnya semalaman supaya bisa diucapkannya saat ini. "Aku mau pulang," Mitha akhirnya berbisik lirih. "Aku antar ya?" Gara bangkit berdiri dari kursinya. "Thanks, tapi aku sebaiknya pulang sendiri," Mitha mengeraskan hatinya, tak ingin kelihatan cengeng di depan Gara. Gara memandang punggung Mitha yang berjalan menyusuri pekarangan dan menghilang di balik pagar, Gara menendang meja tamunya, merasakan nyeri di ujung kakinya dan di dalam hatinya.

Mitha merasakan hatinya sedikit tenang saat kakinya melangkah semakin jauh dari rumah Gara, Mitha menolehkna kepalanya, menatap atap rumah itu yang menyembul di atas pepohonan. Tak ada lagi Gara yang manis, yang membelai rambutnya dengan lembut, membuatnya tertawa riang, yang ada hanyalah angin yang menghembus sepoi, menjadi saksi bisu berakhirnya hubungan cinta yang telah empat tahun terjalin di antara mereka.
Mitha tidak memperdulikan beberapa pasang mata yang menatapnya bertanya-tanya selama perjalanan pulang di dalam angkutan umum itu, yang diinginkannya saat ini adalah menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, membenamkan kepalanya di dalam bantal dan berteriak sekuat-kuatnya melepaskan beban di hatinya.

Kota X, sehari menjelang lebaran

"Tiga...dua...satu..." Ray mengikuti detak jam dinding di atas kepalanya. Tepat pada hitungan kesatu Ray mengangkat tangannya, menopang tubuhnya, menggoyangkan kepalanya, dan memandang kegelapan ruang di sekelilingnya.
Matanya menangkap geliatan tubuh telanjang di sampingnya, bibirnya menyunggingkan senyuman nakal. Ray membungkukkan tubuhnya, menggigit kecil daun telinga gadis di sebelahnya dan berbisik, "I love you..". Gadis di sampingnya hanya mengeluh pendek, ketidak acuhan itu cukup untuk mengusik ego Ray. Tangannya terjulur menyusup ke balik kain sprei, memeluk si gadis dari belakang, menemukan, meraba, dan meremas payudara si gadis di sampingnya, membuat si gadis terbangun dan menggeliat, "Ray...." "Ssshh...enak begini," desis Ray di telinga si gadis. Ray mengangkat paha kanannya, memeluk pinggul si gadis dengan kakinya, menurunkan pinggulnya dan menyusupkan batang penisnya di lipatan paha si gadis. Si gadis mendesah kecil dan membuka pahanya. Ray membenamkan hidungnya di rambut si gadis, menciumi aroma segarnya, dan menggerak-gerakkan pinggulnya, menggesekkan penisnya di bibir vagina si gadis. Telapak tangannya meremas dan memijat payudara si gadis, membuat si gadis terengah-engah dalam kenikmatan yang diberikannya. Ray mendesis dan tertawa lirih saat si gadis menjerit kecil ketika ujung penisnya menusuk liang vagina si gadis. Ray menikmati kegusaran gadis itu yang secara impresif membalikkan tubuhnya dan berusaha menamparnya. Ray memegang pergelangan tangan si gadis, mengecup bibirnya, "Sakit ya? Kasihan deh." Dan merasakan tangan si gadis melemas, membalas ciumannya dan melumat bibirnya. Ray memandang jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul empat pagi. "Ah, puasa terakhirpun kulewatkan," desahnya. Ray bangkit dari tempat tidur dan memunguti bajunya yang berserakan, mengenakannya, dan mengecup bibir Enni dari pinggir tempat tidur sebelum melangkah menuju jendela. Maling. Dan tuduhan itu membuatnya geli.

CHAPTER I

Pantai Z, lebaran kedua, pukul 03.00 pagi

"Tapi, Ray, aku masih susah untuk melupakannya." Ray menatap mata sendu Mitha dalam-dalam, memandang kearah pasang yang mulai terlihat surut, menghisap rokoknya dalam-dalam, "Walau bagaimanapun, yang namanya cinta, memang cenderung berakhir menyakitkan, menorehkan luka kenangan yang sulit dilupakan, karena di situlah letak karasteristik sebuah perasaan cinta."
"Ah, tapi ada kan yang cintanya tetap kekal dan membawa kebahagiaan?"
Ray mengembangkan senyumnya, membuang puntung rokok yang masih setengah panjangnya itu jauh-jauh ke pasir pantai, "Jangan mengacaukan cinta dengan kasih." Mitha mengikuti gerakan puntung rokok yang melayang lalu padam setelah mencapai permukaan pasir, "Maksud kamu?" Ray bangkit berdiri, menggosokkan telapak tangannya yang terasa dingin ke pahanya, membersihkan butir-butir pasir yang menempel, "Kasih, tidak terbawa oleh nafsu, karena itu ia abadi adanya. Tetapi cinta lekat dengan nafsu, nafsu ingin memiliki, ingin mengikat, menguasai, memuaskan, dan egoisme adalah inti utama dari cinta," sampai di sini Ray menghela nafasnya, berusaha menimbulkan kesan dalam pada setiap ucapannya, "dan bukankah itu yang selalu disenandungkan orang-orang dalam lagu-lagu mereka? Pernahkah mereka membicarakan tentang kasih? Kasih yang tidak menuntut, hanya memberi, berlandaskan pengorbanan, tidak cemburu, murah hati, dan sebagainya seperti yang pernah engkau pelajari?" Mitha mengalihkan pandangannya dari Ray ke arah pantai, "Kamu tahu banyak, Ray," gumamnya, "dan mungkin kau benar." Ray tertawa, melompat kecil ke belakang Mitha, memegang pundaknya dan memijat perlahan, "Kau mengerti sekarang?"
"Tujuh puluh lima persen," senyum Mitha menikmati pijatan Ray. Ray mencium pipi si gadis dari belakang, berlari menuju mobilnya, membukakan pintu samping dan membungkuk, "Shall we go?" Mitha tertawa melihat gayanya yang konyol, menjewer kuping Ray sebelum melangkah masuk ke dalam mobil.

Kota X, awal tahun baru

Mitha merasa bingung dengan dirinya sendiri, menyaksikan Gara yang berlutut memeluk kakinya dan memohonnya kembali adalah bunga mimpinya setiap hari, dan seperti kebanyakan mimpi, Mitha hanya menganggapnya sebagai suatu pelampiasan keinginan perfeksionis yang tidak tercapai di kehidupan nyata. Namun kini......
"Mitha, aku tak bisa hidup tanpa kamu," Gara membenamkan wajahnya di sela-sela kaki gadis yang duduk di hadapannya dan membasahinya.
"Gara....." Mitha merasakan air mata mulai mengalir di pipinya. Bahkan sampai sekarang aku masih tetap menyayangimu. Mitha membungkukkan tubuhnya, memegang bahu Gara, dan mengecup ubun-ubunnya, "Bagaimana dengan keluargamu?" Gara mendekap kaki Mitha lebih erat, "Persetan dengan mereka."

Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua, pukul 03.15 pagi


"Alangkah susahnya melupakan cinta pertama."
Ray tersenyum, memperhatikan pepohonan yang berlari di sekitarnya, "Kata orang, cinta pertama dibawa mati, 'tul ngga?" Mitha menarik nafas panjang, "Aku tak pernah mencoba membayangkan untuk mengecup bibir seseorang dan menyerupakannya dengan Gara."
Ray menggerakkan stirnya ke kanan, menghindari kucing liar yang mendadak melintasi jalan.
"Bukankah beberapa orang justru melakukannya?"

Masa-masa kebahagiaan dan kedewasaan

Mitha memperoleh kembali kebahagiaannya yang terenggut saat perpisahannya dengan Gara. Hubungan 'backstreet' mereka berlangsung seakan begitu sempurna, penuh dengan canda tawa dan keceriaan. Namun Mitha harus rela menempuh hubungan jarak jauh tatkala Ray lebih memutuskan untuk mengikuti amanat orang tuanya sebagai seorang anak tunggal, yaitu dengan berkuliah di Surabaya, sementara Mitha memperoleh PMDK-nya dari sebuah universitas negeri terkemuka di Bandung. Gara berjanji akan menjenguknya sebisa mungkin. Mitha sadar bahwa Gara bukanlah berasal dari keluarga yang mampu, namun yang diingat dan diinginkannya saat itu adalah bahwa bagaimanapun ia harus mempertahankan hubungan ini sebisa mungkin. Mitha mengalami berbagai cobaan yang berat selama kuliahnya di Bandung, banyak lelaki yang terpikat oleh kemolekan dan keanggunannya sebagai keturunan putri keraton dan berusaha memikatnya dengan berbagai cara yang luar biasa yang cukup untuk menjatuhkan hati gadis manapun juga. Tapi Mitha masih mampu bertahan dan mengeraskan hatinya, menolak setiap uluran tangan dan godaan yang datang, dan hanya bisa melampiaskannya ketika Gara datang menjenguknya dengan kecintaan dan kerinduannya, membelai tubuhnya dan bercinta di wisma-wisma murah yang berserakan di sekitar kampusnya.

Mitha tumbuh dan berkembang menjadi seorang gadis yang lebih dewasa, dan seiring perkembangannya, Mitha menjadi semakin khawatir akan masa depan hubungan mereka yang semakin kabur semenjak rakyat mulai tersegmentasi oleh kekacauan-kekacauan berbau SARA yang marak di daerah-daerah. Hal inilah yang mampu menahan dan menguatkan dirinya ketika Gara mengendus telinganya di atas kasur murahan dan memohonnya untuk melakukan hubungan suami istri. Keinginan dan hasratnya tertahan oleh ketakutannya sendiri akan masa depan yang kabur itu, dan Gara sepertinya mengerti akan ketakutan itu, mencoba menghormati keputusannya, walaupun terkadang menjadi emosionil ketika hasratnya tak terlampiaskan.

"Gara, bagaimana dengan kita?" Mitha mendesah, merasa berat melepaskan kepergian Gara selama dua bulan ke Gresik. Di lain pihak, Mitha sadar posisi Gara yang menjadi harapan satu-satunya sebagai calon tiang penopang perekonomian keluarganya. Gara memeluk tubuh telanjang Mitha, membisikkan janji-janji indah ke kupingnya, "Aku akan menyuratimu." bisik Gara.
"Aku akan mencoba bertahan," Mitha mendesah lirih.
Gara membungkuk di atasnya, mengecup puting susunya, menindihnya dan meletakkan batang penisnya di bibir vagina gadisnya. Malam itu menjadi milik mereka, namun bagi Mitha, kenyataan itu justru menimbulkan alasan baru untuk segera mengakhiri ketidak pastian cerita cinta mereka. Dan kembali malam itu, Gara merasakan penolakan Mitha saat gadis itu mendorong tubuhnya ke samping, memegang batang penisnya dan memaksa spermanya keluar.

Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua, pukul 03.45 pagi

Ray merasakan pengaruh caffein itu membuat kantung kemihnya beroperasi lebih cepat. Ray mengurangi laju mobilnya dan menghentikannya di bahu jalan, "Pipis dulu." Mitha melengos dengan perasaan geli, "Gokil, ah." Ray tertawa dan keluar dari mobil.

"Aku kagum padamu," Ray berkata ketika mobil yang mereka tumpangi kembali melaju di atas jalanan hutan.
"Ah, Ray. Aku bukan gadis selemah yang kau kira."
"Mungkin cowokmu yang bego," tawa Ray, yang segera meringis ketika kepalan tinju Mitha mendarat di lengan kirinya.
Tawa mereka mengiringi instrumental Richard Clayderman yang mengalun dari tape mobil, menyeruak kegelapan hutan dan kerumunan serangga malam.

CHAPTER II

Ilustrasi Dosa

Gadis itu merintih kecil ketika bibir si Pria menyentuh dan menghisap lebut puting susunya, badannya menggelinjang di atas kasur yang mulai basah oleh keringat. Si Pria memainkan jemarinya di paha si Gadis, membelainya, menelusurinya, menemukan dan membuka lipatan paha si Gadis. Erangan dan keluhan keluar dari bibir si Gadis ketika jemari itu memasuki dan membelai dinding-dinding vaginanya, tangannya terangkat dan memeluk leher si Pria yang kini menjilati seluruh permukaan dadanya. Tangan si Pria terjulur, menuntun pergelangan tangan si Gadis ke arah penisnya, membiarkan jemari si Gadis bermain-main dengan batang penisnya yang menegang, sementara tangannya sendiri kembali menyelip di selangkangan si gadis dan memainkan bibir-bibir vagina si gadis.

Mereka berdua mengeluh, mendesah, dan menggelinjang akan setiap rangsangan yang saling mereka bagi satu dengan lainnya.

Si Pria mengangkat tubuhnya, menatap lurus ke mata si Gadis, mencari-cari jawaban atas permintaan abstraknya, mendesah saat si Gadis menganggukkan kepalanya dengan gerakan samar. Si Pria menurunkan pantatnya perlahan, memegang batang penisnya dengan tangan kanannya, dan menyentuhkan ujung penisnya menyibak bibir vagina si gadis memburu liang kehangatannya. Si Gadis menjerit lirih ketika ujung penis si Pria menusuk dan berusaha membuka jepitan liang vaginanya. Si Pria mengerang tertahan, mendengus, dan menekan penisnya lebih kuat, kepalanya menunduk dan menciumi wajah si Gadis yang mulai basah oleh keringat. Erang kesakitan keluar dari bibir si Gadis saat penis si Pria berhasil menembus selaput daranya, memenuhi liang vaginanya yang terasa berdenyut-denyut. Si Pria membiarkan gerakannya terhenti, meresapi kenikmatan denyut otot liang vagina si Gadis, menciumi lehernya, dadanya, ketiaknya yang bersih. Kesakitan dan rasa nyeri yang dirasakan si Gadis membuatnya terengah dan mengerang, meronta saat penetrasi batang penis si Pria seakan jarum yang menusuk saraf-saraf sekujur tubuhnya. Si Pria mendengus-dengus, menggerakkan pinggulnya semakin cepat, tidak mengacuhkan geliatan si Gadis dan erangan kesakitannya, mengencangkan otot pinggulnya, dan menarik keluar penisnya sebelum spermanya membanjiri liang vagina si Gadis. Kepala si Pria terangkat, mulutnya mengeluarkan desahan penuh kenikmatan. Si Gadis merasakan otot-otot tubuhnya melemas, merasakan beban yang menindih dadanya saat kepala si Pria menempel di permukaan kulit payudaranya.

Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua, pukul 04.15 pagi

"Sssshhh.. hhh...." Ray mengepulkan asap rokok dari tepi bibirnya. Mitha memandangi langit yang mulai berwarna kebiruan, pertanda matahari akan segera muncul. Beberapa pecari kayu bakar terpaksa meminggirkan sepeda mereka saat mobil yang dikendarai kedua anak manusia itu melaju melintas dengan kecepatan yang cukup untuk menekan udara menggoyangkan sepeda mereka. "Ray, benarkah banyak terdapat cowok oportunis di dunia ini?" Mitha membuyaran kesunyian di antara mereka. Suatu pertanyaan yang merepotkan, pikir Ray saat itu, "Seandainya saja kebanyakan pria tidak tercipta dengan pemikiran yang lebih kuat dari perasaannya, dan dengan tanpa libido yang luar biasa, mungkin jawabannya adalah tidak."
Mitha menghela nafasnya dalam-dalam, matanya masih memndangi pepohonan dari balik jendela di samping tubuhnya. "Namun," Ray meneruskan, "sekarang semuanya kita kembalikan saja kepada yang dinamakan nafsu. Nafsu mampu membuat segala cahaya menjadi kegelapan, sebaik apapun manusia, apabila nafsu menguasainya...."
"Aku tahu itu," Mitha memotong perkataan Ray.

Bandung, pertengahan Mei

Mitha merasakan kepiluan hatinya saat menyaksikan Gara yang menutupi hidung dan mulutnya dengan kedua telapak tangannya. "Maafkan aku," bahkan Mitha tidak menjadi geli merasakan anekdot ini, selintas ingatannya betapa iapun berusaha menghapalkan perkataan ini sepanjang malam untuk melatih keberaniannya, persis seperti Gara beberapa tahun lalu.
Mitha berusaha mengeraskan hatinya untuk tidak mengakui kebohongannya, berusaha mengalihkan pandangan matanya ke ujung-ujung jemari kakinya.
"Bunuhlah aku, Gara," Mitha terisak, "karena kelemahanku, apapun asalkan kau merasa puas." Mitha mencoba membangkitkan kebencian Gara kepadanya, karena ketidak mampuannya menahan godaan di saat-saat kesepiannya. Gara menurunkan tangannya, menatap Mitha dengan mata berair, merasakan saraf-sarafnya terbakar di sisi keningnya, menggeram lirih, "Alangkah ringannya kematian atas luka yang kautorehkan di jangka kepercayaanku."
Gara bangkit berdiri, kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya.

Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua, pukul 04.35 pagi

"Mungkin kamu akan menyetujui pendapat bahwa cinta yang bergelimang nafsu akan selalu menuntut kesetimpalan perbuatan apapun yang mengkhianatinya. Bukankah begitu, Ray?" Mitha memandang Ray yang mencoba memecah konsentrasinya.
"Kamu membuatku semakin terbawa oleh ceritamu," Ray tertawa dan membuang rokok di jepitan jemarinya keluar jendela.

Bandung, pertengahan Mei

"Gara!" jeritan lirih itu tak dihiraukannya. Gara memegang tangan Mitha dengan kasar dan menarik gadis itu berdiri, Mitha melihat pandangan mata Gara dibayangi kebencian bercampur dengan air mata, bulu-bulu roma gadis itu berdiri dan adrenalin di sekujur tubuhnya engalir semakin cepat. Gara menempelkan tubuhnya di tubuh Mitha, menjambak rambut gadis itu dan menarik kepalanya ke belakang, mendesis, "Terlalu ringan...."
Mitha dapat merasakan hawa kebencian itu menghembus wajahnya. Gara membalikkan tubuh Mitha, tetap menjambak rambut gadis itu, menekan punggungnya sampai setengah tertelungkup di atas sofa.
"Gara....." Mitha mulai merasakan kengerian itu memaksa air matanya mengalir lebih deras, sejenak keraguan akan rencananya menyeruak di benaknya, namun akankah sesorang mampu membagi alternatif lain dari kekerdilan pemikirannya saat itu?
Gara menyelipkan tangannya ke balik pakaian Mitha, meremas kasar payudara si gadis, menggeram, "AKU sekarang..." Mitha mengerang kesakitan saat kuku-kuku Gara menancap di kulitnya. Setelah merasa puas meremas, Gara mengeluarkan tangannya dan mengangkat rok Mitha melewati pinggulnya, menarik celana dalam si gadis dengan paksa, membuka kaki Mitha dengan dengkulnya. Mitha merasakan kepiluan dalam dirinya, kenyataan ini adalah yang kemudian disadarinya sebagai konsekuensi yang harus diterimanya dari pengorbanannya sebagai seorang kekasih, membuatnya membatalkan setiap keinginannya untuk meronta dan melepaskan diri. Gara menyusupkan jemarinya ke selangkangan Mitha, meremas dan menggesek dengan kasar kemaluan si gadis, membuat Mitha meringis menahan rasa sakitnya. Gara menggeram dan menggigit pinggul si gadis dalam-dalam. meninggalkan jejak kemerahan di kulit Mitha yang putih, dan menusukkan telunjuknya ke lubang vagina gadis di bawahnya. Mitha menjerit kesakitan, merasakan setiap kengerian itu menusuk dan mengoyak kemaluannya, namun jeritannya berubah menjadi isak tertahan saat Mitha mengeraskan hatinya kembali dengan menggigit bibirnya dalam-dalam. "Kamu menyukainya, KAN?" Gara menggeram, merasa puas akan kepasrahan Mitha. Gara mengeluarkan jarinya dan membuka celananya, mengeluarkan penisnya yang menegang sejak tadi karena rangsangan dari ilusinya atas persetubuhan Mitha dengan si pria itu.

Gara menahan tubuh Mitha dengan sikut kirinya, sementara tangan kanannya menggenggam batang penisnya, memainkannya seakan ragu akan tindakannya sendiri. Namun hawa kebencian dan imajinasi yang menyakitkan hatinya membuatnya seakan gila. Gara memegang pantat Mitha, membukanya dan menghujamkan penisnya sekuat tenaga ke liang vagina si gadis. Mitha membenamkan mulutnya ke sofa, mengerutkan keningnya dan menjerit sejadi-jadinya, perutnya seakan ditusuk oleh pisau tajam yang mengoyak dan mengguncang otot-otot selangkangannya.

Gara mengerang merasakan kesempitan liang vagina gadis di bawahnya, dan mendesis saat menggerakkan pinggulnya dengan kasar. Mitha merasakan kenyerian yang amat sangat, air matanya membanjiri kain penutup sofa, gadis itu menggigit kain itu sekuat tenaganya, berusaha menyalurkan semua rasa sakit di selangkangannya, tangannya menggapai-gapai dan mencengkeram pergelangan tangan Gara yang menjambak dan menekan kepalanya. Gara menggerakkan pinggulnya semakin cepat, hanyut dalam kenikmatan kebenciannya, "MAMPUS!" Gara mengerang dan menekan penisnya dalam-dalam. Mitha menjerit tertahan dari mulutnya yang terkatup, merasakan cairan sperma itu menyembur membasahi saraf-saraf di dinding liang vaginanya. Gara menekan-nekan beberapa saat, menarik keluar batang penisnya yang basah dan berwarna kemerahan, merasa puas membayangkan betapa tindakannya telah menorehkan luka di kemaluan Mitha.
Mitha terisak dalam kenyerian dan kepedihan yang dirasakannya.

Jalanan Hutan dari pantai Z ke kota X, lebaran kedua, pukul 05.05 pagi

Ray menyalakan lagi sebatang marlboro yang sudah terselip di ujung bibirnya.
"Impulsif dan emosionil," Ray mendesis, mengepulkan asap rokok keluar jendela, berusaha untuk menahan emosinya sendiri yang sedikit terhanyut. Rumah-rumah mulai banyak terlihat di pinggir jalan, pertanda bahwa mereka sudah mulai memasuki kota. "Tapi tepat seperti apa yang kuharapkan darinya."
"Ah?"

Epilog :

Pasca kejadian

Semenjak kejadian hari itu, Gara tak pernah lagi menghubungi Mitha. Mitha sendiri tidak pernah mencoba untuk mengganggu Gara, bahkan saat Gara diwisuda, Mitha hanya mendengar kabarnya dari salah seorang temannya, dan hanya bisa berdoa bersyukur karena akhirnya cita-cita Gara dan keluarganya tercapai, tanpa gangguan apapun darinya.

Kepuasan Mitha digapainya dengan keberhasilan setiap rencana pengorbanannya untuk keberhasilan Gara, kepuasan menyaksikan kebencian Gara yang mampu membuat lelaki itu melupakannya, kepuasan melihat Gara dan keluarganya berbaikan kembali setelah sekian lama berkutat atas hubungan mereka, kepuasan atas keberhasilan Gara memenuhi tuntutan orang tuanya, dan terutama, kepuasan karena akhirnya ia berhasil menyerahkan keperawanannya kepada satu-satunya orang yang ia kasihi, Gara, walaupun semuanya terasa begitu menyakitkan, dan lebih menyakitkan ketika sudut-sudut matanya menyaksikan linangan air mata di pipi dukun bayi itu saat mengangkat bakal janin dari rahimnya yang kini invalid.

Mitha merasakan hidupnya selesai, hasratnya akan keindahan dan kemolekan keduniawian yang semu di masa depannya lenyap sudah. Namun kematian ini dianggapnya sebagai sebuah kebangkitan hidup baru berwujud penyerahan seluruh jiwa dan raganya ke tangan Penciptanya dalam pelayanannya di sepanjang sisa hidup baru itu. Kenangan akan cintanya yang hanya sekali selamanya merupakan pemicu kedekatannya pada Tuhannya, dan dalam tangis pertobatannya setiap malam, nama Gara adalah satu yang takkan pernah terlewatkan.

Kota X, lebaran kedua

Ray menghentikan mobilnya, memandang matahari yang mulai melewati atap-atap rumah, "Ahh, tak terasa hari mulai pagi." Mitha tersenyum, memutar tubuhnya menghadap Ray, sahabat bermainnya sejak kecil, satu sosok yang diletakkannya di urutan kedua setelah Gara. "Ray..." Ray membalas pelukan Mitha, merasakan tanggul di kantung matanya hancur, membasahi pundak Mitha dengan air matanya, "Cengeng ah, aku tidak apa-apa kok." Ray membenamkan kepalanya, merasa bingung, karena apapun yang akan dilakukannya tidak akan mengubah apapun yang telah terjadi. Mitha menepuk punggung Ray, merasakan air matanya sendiri mengalir membasahi baju sahabatnya. "Jangan lupa kunjungi aku di sana, Ray." "Aku takkan melewatkan kesempatan itu, untuk melihat kerudung menghiasi keanggunanmu." bisik Ray di telinga Mitha. Mitha tertawa kecil di sela isaknya, "Perayu bodoh." "Tetaplah berdoa untukku," Mitha mengecup kening Ray,"terima kasih karena telah mengingatkanku bahwa kasih dan pengorbanan adalah lebih utama daripada cinta." Mitha menghapus air mata yang mengalir di pipi sahabatnya dengan ibu jarinya, merasakan kasih sayang seperti seorang ibu kepada anaknya, seperti seorang kakak kepada adik kesayangannya. "Selalu." Ray menjawab lirih, enggan melepas kepergian Mitha dan kehangatan kenangan persahabatan mereka yang sebulan berikutnya tidak akan dapat terulang seperti dulu lagi.

Ray mengamati Mitha yang keluar dari mobilnya, melangkah membuka pagar rumahnya, dan melambaikan tangan mengiringi tekanan kakinya pada pedal gas di bawahnya.

Ray menghentikan mobilnya beberapa meter kemudian, melompat turun, menghapus air mata yang mengalir kembali di pipinya, melambaikan tanganya dan berteriak,"Selamat Natal, Mitha!!" Mitha berlari kecil keluar pagar, meletakkan telapak tangannya di sisi pipinya.
"Selamat Lebaran, Ray!!"

Persahabatan dan kasih, adalah harta yang tak ternilai harganya.

read more...