Minggu, 02 Mei 2010

terenggutnya sang jejaka

Cerita ini fiktif belaka, asli hanya karangan. Mohon maaf jika ada kesamaan nama para pembaca/DSer dengan nama2 dalam tokoh ini, dan mohon maaf pula apabila ceritanya terlalu bertele2. TQ

Sang Petualang
__________________
Namaku Antoni Sukoco, namun orang-orang yang dekat denganku biasa memanggilku cukup dengan “Anton” saja. Aku seorang pemuda berusia 38 tahun. Kukatakan pemuda, karena walaupun usiaku menjelang kepala empat, namun jiwaku memang benar-benar masih muda. Disamping statusku yang masih lajang alias belum menikah, tampangku juga imut-imut, sehingga orang mungkin tidak akan menyangka dengan usiaku saat ini

By the way, mengapa hingga saat ini aku belum menikah, itu bukan berarti tidak ada seorangpun wanita yang mau atau tertarik denganku. Aku justru bersyukur karena Tuhan memberiku bentuk fisik yang oke punya. Tinggi seratus delapan puluh, tubuh atletis, kulit bersih tidak terlalu putih, rambut lurus, tampang ganteng dengan gaya yang macho. Dengan kondisi yang demikian, untuk wanita yang jelas-jelas normal pasti akan tertarik dengan driku. Apalagi ditunjang dengan karierku sebagai pengusaha yang boleh dibilang sukses, tidak kekurangan materi, wanita mana yang tak akan melirikku? Dan bukannya aku mau sombong lho, banyak wanita mengejar diriku untuk dijadikan istri atau cuma sekedar simpanan.

Aku belum mau menikah, karena memang aku tidak mau terikat dengan wanita manapun. Bahkan demi kebebasanku, aku rela tidak memiliki kekasih, teman dekat atau semacam itu. Semua kulakukan karena kesenanganku berpetualang, diantaranya dengan kaum yang disebut perempuan. Anda tentunya tidak perlu bertanya tentang petualang yang aku maksudkan di sini. Terus terang aku adalah penganut faham sex bebas, dan aku memang ingin menikmati kebebasan sex itu. Namun perlu anda fahami, pengertian bebas di sini bukan dalam pengertian liar, tapi bebas terkendali. Aku masih menjaga nilaiku di mata orang. Aku tidak berhubungan dengan sembarang wanita, aku tidak mau merusak gadis baik-baik, dan aku tidak mau merusak rumah tangga orang. Itu prinsip yang selalu kupertahankan, walaupun sorry…bo…, kadang-kadang aku gawal juga dalam mempertahankan prinsipku tersebut. Tapi kalau itu harus terjadi, maka yang paling penting di sini adalah bebas, lepas, samo salero, tidak ketahuan dan tidak ada sesuatu hal yang harus kupertanggungjawabkan.

Kalau diukur dengan kurun waktu, maka lebih dari dua dekade aku mengenal sex, dan entah berapa perempuan yang telah kugauli, dan tentunya dari berbagai tipe perempuan yang aku kenal selama ini.

Dalam cerita berseri ini, aku hanya akan menceritakan beberapa pengalamanku dengan perempuan-perempuan yang menurutku mempunyai kesan yang cukup mendalam.


Terenggutnya Sang Jejaka
__________________
Sampai usiaku menjelang 17 tahun, aku sering dikatakan orang, khususnya cewek-cewek sebayaku sebagai cowok yang agak dingin dan cuek, karena memang aku kurang bergaul dengan mereka. Banyak gadis-gadis yang berusaha mendekatiku, namun aku berusaha membatasi diri, tidak mau terlibat terlalu jauh. Dengan mereka umumnya aku just say hello saja, dan kalau ada kumpul-kumpul, paling-paling dalam rangka belajar bersama atau di acara ulang tahun, tidak lebih. Bukan aku sok alim, tetapi aku memang benar-benar kurang tertarik dengan gaya-gaya mereka yang aku nilai masih kekanak-kanakan. Aku justru lebih tertarik dengan wanita yang usianya agak matang. Melihat mereka, terkadang libidoku rasanya menjadi lebih terpancing.

Adalah tanteku Lusiana Rumokoy atau singkatnya dipaggil tante Lusi yang mengawali perubahan segalanya. Tante Lusi adalah istri dari adik ibuku, oom Yanto yang menikahinya saat beliau merantau di Manado. Setelah menikah, oom Yanto memboyong tante Lusi ke Makasar karena di kota ini oom Yanto mulai merintis usahanya hingga sukses. Mereka tinggal di sana sampai oom Yanto meninggal setahun yang lalu karena kecelakaan. Karena tak mau berkutat dengan kenangan suaminya, maka sepeninggal oom Yanto, tante Lusi kembali ke ke kota asalnya Manado. Walau secara materi mereka sukses, namun perkawinan oom Yanto dan tante Lusi tidak dikaruniai seorang anakpun.

Saat itu, hampir setahun setelah meninggalnya oom Yanto dan menjelang usiaku yang ke-17, tante Lusi menyurati ibu dan menyatakan rindu dengan keluargaku, karenanya tante Lusi bermaksud mengunjungi kami di Jakarta. Ibu menyambut gembira dengan rencana kedatangan tante Lusi dan pada saatnya ibu memintaku untuk menjemputnya di Bandara.

Tentu saja aku masih ingat dengan wajah tante Lusi, karena sejak bertemu dengannya sepuluh tahun yang lalu, aku telah mengagumi kecantikan dan keseksian tubuhnya, walaupun saat itu usiaku baru 7 tahun. Barangkali karena tidak memiliki anak, maka tante dan oom sangat menyayangi dan memanjakan diriku. Aku sering diciumi, dipeluk-peluk dan didekap-dekapkan ke dada tante. Aku menikmati keadaan tersebut, dan terus terang kuakui sesadar-sadarnya, aku menikmatinya bukan sebagai anak kecil, tetapi sebagai laki-laki.

Bayang-bayang tersebut masih melekat hingga kini, dan tentunya aku tak dapat melupakan wajah tanteku itu begitu saja. Berbeda sekali dengan keadaan yang dihadapi tante, perubahan kondisi fisikku tentu saja membuat tante bingung. Aku menikmati kebingungan tante Lusi pada saat di Bandara, karena setibanya di sana aku tidak langsung menyapa atau menyambutnya, tetapi membiarkannya semakin terpaku dalam kebingungan. Aku mencoba mendekatinya dan bertanya seakan-akan aku tidak mengenalnya.

“Ada yang ditunggu, tante?”

Tante Lusi tertegun dan menatapku sesaat, kemudian menjawab “Ya.., saya lagi nunggu keponakan yang mau jemput, tapi kok belum datang-datang..”
“ Saya juga mau jemput famili saya, tapi belum nampak batang hidungnya. Padahal tiap-tiap penumpang yang masuk sudah saya perhatikan.”, kataku mencoba bersikap akrab.
“Penerbangan dari mana?”
“Flight satu dari Manado!”, jawabku.
“Lho, itu kan penerbangan saya..! Siapa nama orang yang adik jemput? Barangkali aja tante kenal dengannya, soalnya di pesawat tadi banyak yang tante kenal”
“Susanto, tante!”, aku pura-pura serius, padahal nama itu aku cuma asal sebut saja.
“Susanto….”, kata tante Lusi seraya mengerutkan kening seolah-oleh memikirkan nama tersebut. ”Ah maaf ya, kayaknya tante nggak kenal nama itu”, lanjutnya seperti menyesali ketidaktahuannya.
“Kena, lu!”, kataku dalam hati sambil mencoba menahan senyum. “Nggak apa-apa tante, mungkin nggak jadi hari ini, biar saya cek lagi nanti…! Nomong-ngomong, tante mau kemana?”
“Tante mau ke jalan Dukuh Kebayoran Baru..!”
“Lho, satu arah dong, itu kan daerah sekitar saya tinggal. Memangnya tempat siapa yang tante tuju ?”
“Kakak tante, ibu Wati…!”, jawabnya.
“Ooh, istrinya bapak Sucipto..!”, aku menimpali.
“Lho, adik kenal dengan mereka?”, tanya tante Lusi nampak girang karena aku mengenal orang yang akan dia kunjungi. Tentu saja karena mereka adalah orang tuaku. Aku makin ngakak dalam hati.
“Tentu saja tante, pak Cipto kan ketua RW di tempat saya. Masa saya nggak kenal beliau….”. Selanjutnya aku mencoba menawarkan jasa : “Bagaimana kalau tante saya antar aja ke tempat mereka?”

Tante Lusi berpikir sejenak, kemudian menjawab dengan keraguan “Tapi bagimana dengan orang yang mau adik jemput? Dan tante juga bingung… bagaimana kalau nanti keponakan tante sampai ke sini?”
“Saya sih nggak masalah, dan keponakan tante juga paling-paling balik lagi kalau nggak ketemu tante….!”, aku mencoba meyakinkan.

Tante Lusi akhirnya mau menerima tawaranku. Aku kemudian membawakan barang-barangnya.

“Maaf ya dik merepotkan…. Ngomong-ngomong, nama adik siapa?”, tanyanya sambil mengulurkan tangannya ke arahku.
“Sukoco..!”, kataku sambil kujabat tangannya yang lembut.
“Lusi…!”, balasnya.
Setelah aku memasukkan barang-barang bawaan tante Lusi, aku segera membukakan pintu samping mobilku, “Silahkan, tante…!”

Aku segera memacu Corollaku. Sepanjang jalan kami akrab bercakap-cakap, namun aku tetap merahasiakan identitasku sebenarnya dan bersikap seakan-akan baru mengenalnya, sehingga dia tidak curiga sama sekali kalau aku ini sebenarnya adalah keponakannya.

Sesampainya di depan rumahku, aku tanpa ragu-ragu memasukkan mobilku ke halaman.

“Kita sudah sampai dan Ini rumahnya ibu Wati, tante. Silahkan, tante …!”, kataku mempersilahkannya turun.
“Terima kasih, dik!”, balasnya.

Sementara aku mengeluarkan barang, rupanya tante Lusi sudah tidak sabar lagi. Dia langsung memasuki rumah tersebut. Dari luar aku mendengar gaduhnya suara dua wanita, ibuku dan tante Lusi yang saling melepas rindu. Terus terang aku belum berani masuk, karena belum siap menghadapi keterkejutan tante Lusi yang bakal terjadi. Aku yakin pasti akan heboh...

Dugaanku benar, karena tak lama kemudian tante Lusi keluar rumah sambil berteriak-teriak memanggil namaku dengan nada yang gusar, sementara kudengar ibuku dan lainnya tertawa terpingkal-pingkal.

“Antooonnn….Kesiniii…! Awas kamu, ya, berani-beraninya kamu ngerjain tante….!!”
Aku diam di luar menunggu tante Lusi yang berjalan ke arahku dengan wajah cemberut. Aku cuma cengengesan kayak orang nggak punya salah, pasrah dengan apa yang mau dikerjakan oleh tante Lusi.

Setelah berada di hadapanku, tante Lusi langsung mencubit perutku, “Hiih.., punya keponakan kok iseng amat, sih....!”, katanya gemas tapi mesra, terus memukul- mukul pundakku, terus menjewer telingaku, mencubit lagi perutku.

“Ampun, tante…..!!”, kataku tapi aku tidak berusaha menghentikan cubitan atau pukulannya, karena aku tahu itu cubitan dan pukulan gemas tapi mesra, dan terus terang aku sangat menikmatinya.
“Kok tega-teganya sih kamu ngerjain, tante?”
“Habis… tante sih enak dikerjain…”, kataku cuek.
“Eiit, jangan kurang ajar, ya…. Tante cium nanti..!”, tante Lusi kembali mencubitku, tidak di perut, tapi lebih ke bawah lagi.
“Iya deh, maafin Anton, tante. Suer deh.., Anton nggak akan ngulangin lagi…..”, kataku sambil mengangkat jari telunjuk dan jari tengahku membentuk huruf V.

Tante Lusi kemudian memelukku erat, mencium pipi, kening, dan mengecup bibirku berulang-ulang tanpa merasa risih. Aku mencium harum parfum tubuhnya, dan tanpa kusadari aku membalas pelukannya semata terdorong karena gejolakku.

Lama kami berpelukan, kemudian tante Lusi memperhatikanku dengan seksama, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya berkata :
“Tante kangen berat sama kamu, Ton..! Tante bener-bener pangling sama kamu…! Kamu kelihatan tinggi, gagah dan cakep lagi…. Udah punya pacar ?”
“Nggak ada yang mau, tante…!”
“Nggak mungkin.. nggak mungkin…!”, tante Lusi tak yakin dengan jawabanku. “Ayo masuk, sayang ..!”, ajak tante Lusi sambil mengandeng dan menarikku ke dalam rumah.

Sudah satu minggu tante Lusi tinggal di rumahku dan sejauh ini sudah beberapa tempat yang dia kunjungi, dan tentunya aku yang senantiasa mengantarnya kesana kemari. Walau capek, tapi aku senang. Selain karena memanjakan diriku, terus terang aku terobsesi dengannya dan ingin selalu berdekatan dengannya. Untuk satu perkara ini aku tidak jelas-jelas memperlihatkan sikapku, aku bersikap sewajarnya sebagai seorang keponakan terhadap tantenya.

Entah tanteku menyadari atau tidak tentang obsesiku, tapi sebaliknya aku kadang-kadang merasakan sikap tanteku seakan-akan ada hasrat-hasrat yang terselubung. Kadang kulihat dari caranya meggandengku, memelukku atau menciumku, aku sering merasakaan perilakunya bukan selayaknya tanteku. Tapi sedapat mungkin aku menepis prasangka itu jauh-jauh, sebab mungkin saja aku yang terlalu geer.

Malam itu hari Sabtu, jam menunjukkan pukul tujuh malam, aku dan tante Lusi baru pulang ke rumah setelah seharian mengelilingi kota Bogor, Puncak dan Cianjur. Kebetulan saat itu tanggal merah, sehingga sekolahku juga libur dan bisa mengantar tante Lusi. Sebenarnya hari Minggu besok, oom Narto di Malang akan merayakan pertunangan anaknya perempuannya dan beliau mengundang kami sekeluarga untuk hadir di sana. Tadinya ibu tidak akan ikut mengingat ada tante Lusi di sini, tapi tante Lusi menyarankan agar ibu memenuhi saja undangan tersebut, tante Lusi tidak keberatan tinggal toh ada aku yang menemani. Alhasil yang berangkat ke Malang adalah ayah, ibu, dan Nela adik perempuanku, sementara di rumah, tinggal bik Iyah dan Laksmi pembantuku, mang Karta tukang kebunku, aku dan tante Lusi.

Walaupun malam masih panjang, tapi karena kelelahan, aku dan tanteku sepakat untuk tidak pergi ke mana-mana. Rencanaku setelah mandi, aku mau langsung tidur saja. Namun itu tak dapat kupenuhi, karena selesai aku mandi aku menjumpai tanteku tengah duduk di ranjang tidurku sambil menonton TV. Tangannya asyik mempermainkan remote mencari-cari program siaran yang menarik. Tante Lusi mengenakan baju tidur yang lumayan tipis, sehingga mau tidak mau memancarkan lekuk-lekuk tubuhnya yang indah. Aku, karena baru keluar dari kamar mandi, saat itu hanya mengenakan handuk yang kulilitkan. Walau agak jengah, aku mencoba berusaha bersikap wajar.

“Belum ngantuk, tante…?”, tanyaku.
“Belum, sayang…..”, katanya sementara tangannya tetap mencari-cari chanel. “Temani tante ngobrol, ya…. Nggak keberatan, kan? Tante nggak bisa tidur… ”
“Boleehh….!”, aku mengiyakan. Saat kulihat jam di dinding, waktu menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.
“Duduk sini dong, Anton… !”, ajak tante Lusi seraya melepaskan remotenya dan tiba-tiba menarik tanganku hingga aku terduduk di sebelahnya.

Aku kaget setengah mati, tanganku yang lainnya memegang erat handuk yang melilit tubuhku agar tidak melorot. Saat aku terduduk, kulihat pakaian tante Lusi agak tersingkap, sehingga terlihat CD merah dan kemulusan serta kemolekan pahanya. Tante Lusi nampak acuh saja, namun aku merasakan pengaruh yang luar biasa. Aku kelabakan karena rudalku tiba-tiba membengkak dan sulit kukendalikan. Aku kuatir kalau-kalau handuk yang kulilitkan di tubuhku tidak mampu membendung desakan sang rudal. Aku memejamkan mata mencoba melupakan bayangan menarik sepintas tadi, sementara tanganku mencoba menahan bagian yang membesar tadi.

“Kenapa sih pake merem-merem segala …. ?”, tanya tanteku sambil tersenyum.
“Sebentar tante…. Anton mau ganti baju dulu….. !”, kataku sambil mencoba bangkit namun tidak bisa karena tangan tante Lusi masih menahan tanganku. “Nggak usah….!”, katanya tetap memegang tanganku.
Tante Lusi menatapku dengan tetap tersenyum. Ditatap demikian aku semakin salting saja. “Ada yang aneh dengan Anton, tante…?”, tanyaku mencoba menghilangkan saltingku.
“Antoon…. Antoonn…..”, desah tanteku. “Melihat kamu, tante jadi ingat dengan oommu.. Mata, alis dan senyummu itu yang mengingatkan tante…”, sepertinya ada nada kesedihan di sela-sela ucapannya.
“Sudahlah tante….. Biarkan oom tenang di sana….”, kataku mencoba menghiburnya sambil merengkuhnya dan menyandarkan kepalanya di pundak kiriku. Tangan kiriku mengelus-elus pundak kirinya.
“Kamu bener-bener belum punya pacar, sayang…!”, katanya mencoba mengalihkan pembicaraan
“Males tante…. Punya pacar kayaknya ngerepotin…”
“Lho kok gitu penilaianmu. Sama pacar kamu kan bisa curhat, berbagi suka atau duka….. dan tentunya kamu punya hiburan”
“Entahlah tante, Anton bener-bener males, nggak minat. Apalagi kalau udah ngeliat sikap kayak anak kecil..”
“Kamu itu kayak pesawat supersonic aja, Ton…!”
“Maksud tante…..?”
“Iya, pola pikir kamu itu kayaknya udah melebihi umur kamu. Kayaknya kamu sok dewasa, deh….!”, kata tante Lusi sambil tangannya mengelus pipiku.
“Terus hiburan kamu apa, dong..?”
“Ya… paling-paling nonton, baca buku, surfing atau panjat gunung, itu saja, tante….!”
“Terus…. Sama cewek, sama sekali belum pernah berhubungan ……?”
“Maksud, tante…. hubungan sex ?”, aku sedikit kurang ngeh dengan pertanyaannya. Tante Lusi mengangguk menegaskan pertanyaannya
“Boro-boro tante… ciuman aja nggak pernah…. Anton takut mereka hamil, tante..! Kalau temen Anton sih banyak yang sudah sampai begituan.!”
“Kamu pernah lihat orang berhubungan sex..?”
“Ya.. paling-paling di filem atau ngintip tetangga”
“Iih… dasar badung..!”, katanya sambil menjawil hidungku. “Terus kalau kamu punya keinginan, gimana penyalurannya…”
“Ya itu tante…..”, aku sedikit ragu mengungkapkan.
“Apa…..?”
“Yaa… onani aja…!”, jawabku tegas.
“Aduh kasian deh ponakan tante…..!”
“Habis mesti bagaimana, tante….?”, terus terang aku jadi penasaran dengan komentar tante Lusi.
“Ya menurut kesehatan sih, onani bisa dijadikan penyaluran. Nggak apa-apa kok…! Oom kamu juga sering onani. Kami nggak mesti berhubungan suami istri. Kalau sewaktu-waktu perlu refres, oom kamu melakukannya dengan onani..”

Entahlah pembicaranku dengan tante Lusi mengarah kemana, aku nggak peduli. Yang jelas dengannya justru aku bisa curhat, seakan-akan tak ada sesuatu yang tabu untuk dibicarakan.

“Kalau oom lagi onani, tante ngapain.. “, aku mencoba memancingnya.
“Ya… tante godain….”
“Godain gimana, tante…..?”, tanyaku penasaran.
“Ih, kamu pengen tau aja sih….”
“Ya dong, tante. Kalo itu baik kan bisa Anton pelajari…. Gimana godainnya, tante?”
“Ya, tante juga melakukan hal yang sama”
“Maksud tante, tante juga onani…”
Tante Lusi mengangguk pelahan, “Iyaaa biar sama-sama puas, oom kamu beronani sementara tante bermasturbasi ria…. “
“Asyiiikkk dong, ……. saling melihat. Kalau Anton onani, paling-paling cuma ngebayangin…..“
“Apa yang kamu bayangin…?”, desak tante Lusi.
“Ya… ngebayangin Marilyn Monroe, Sopia Loren atau Sopia Latjuba tanpa busana, pokoknya yang indah-indah yang bikin Anton terangsang. Tante juga kayaknya bisa deh dibayangin kalau lagi mandi…… “, kataku sambil guyon.
“Dasar anak tengal…. Pernah ngintip tante mandi, ya….?”, umpat tante Lusi sambil memelototkan matanya.
“Emmbeeer…..!”, jawabku mencibir.

Tanpa ba bi bu, tante Lusi bertubi-tubi mencari-cari sasaran cubitan dan pukulan di tubuhku. Aku mengaduh, sementara keadaan handukku sudah tidak karuan karena posisiku sekarang terlentang dan tante Lusi posisinya di atas tubuhku tetap dengan cubitan dan pukulan-pukulan gemasnya ke arahku. “Hayoo, kapan kamu ngintip tante mandi…?”, desaknya penasaran.

“Ampuunn tante….!”, kataku menyerah.
“Nggak bisa, kamu harus ganti rugi tante…!”
“Iya, tapi Anton harus ngganti apa dong tante…?”

Tante Lusi berheti mencubit dan memukuliku, sementara posisinya sekarang menduduki tubuhku. Aku baru sadar kalau handukku ternyata sudah tidak lagi melilit tubuhku, dan aku juga baru sadar kalau posisi bokong tante Lusi tepat menduduk1 pendulumku. Rasa hangat yang menyalur ke tubuhku membuat rudalku mendongkrak-dongkrak selangkangan tante Lusi. Tiba-tiba tante Lusi tersenyum menatapku.

“Ahaa…. “, kata tante Lusi sambil menggerak-gerakkan telunjuknya. Tiba-tiba tante Lusi mendekatkan mulutnya ke telingaku dan membisikkan sesuatu. Tiba-tiba tubuhku kaku dan terkejut bukan main mendengar apa yang dibisikannya, kalau sempat berkaca mungkin aku bisa melihat mukaku yang memerah. Tante Lusi memintaku melakukan onani di depannya.

“Nggak mau ah tante, maluu….!”, kataku tegas-tegas menolak.
“Malu nih, ye….? Kamu udah nggak pake apa-apa aja masih malu sama tante?”
Tiba-tiba tante Lusi bangun dari posisi duduknya, kemudian berdiri di samping tempat tidurku tanpa melepaskan pengawasannya ke arahku. Begitu tubuhnya terangkat, kontan saja tanganku menutupi kemaluanku yang terbuka. Tante Lusi tertawa kecil melihat tingkahku.
“Ayo dong….. !”, desak tante Lusi.

Aku menggeleng, tante Lusi mendesak lagi, aku menggeleng lagi. Mataku terbelalak ketika secrara tiba-tiba tante Lusi melepaskan pakaian tidurnya, dan hanya CD nya saja yang tertinggal. Ternyata tante tidak mengenakan bra, dan bulatan padat nan menantang dengan tubuh yang indah dan mulus itu terbuka di hadapan mataku. Tangan kirinya mengelus-elus sendiri buah dadanya, sementara tanggannya mulai menyelusup masuk ke dalam cd-nya, menggerak-gerakannya seperti wanita yag sedang melakukan masturbasi.

Aku terangsang hebat, namun aku masih tetap terpana dan tidak berkutik.
“Masih malu Anton, sayang….?”, tanyanya seolah-olah meledekku.
Aku tetap tidak bergerak. Tiba-tiba dia mendekatiku dan kembali duduk di atas tubuhku. Aku semakin gemetaran dan tanpa kusadari keluar keringat dingin.

“Katamu kamu belum pernah berciuman?”
Aku cuma mengangguk.
“Pejamkan matamu dan buka mulutmu sedikit, sayang ….”, pintanya.

Aku memejamkan dan sedikit membukakan mulutku mengikuti permintaannya. Tiba-tiba kurasakan bibir lembut menempel di bibirku, lidahnya masuk ke dalam rongga mulutku seakan mencari-cari sesuatu. Aku terhenyak merasakan sensasi yang belum pernah kurasakan selama ini. Dengan refleks lidahku membalas juluran lidahnya, saling memilin. Tante Lusi melumat bibirku dengan penuh gairah. Napasnya kurasakan memburu tidak karuan. Dari mulutnya, mulutku kemudian bergerilya ke matanya, hidungnya, kupingnya dan akhirnya melintah di lehernya.

“Come down, sayaangg…!”, tiba-tiba dia melepaskan ciumannya, menatapku lantas kembali bertanya :”Masih malu, sayaangg…..?”

Aku menggelengkan kepalaku sambil tersenyum padanya. Tante Lusi berdiri tak mau melepaskan pandangannya dariku “Ayo sayang, lakukan untuk tante….!”
Dengan keberanian yang tiba-tiba kuperoleh, aku berdiri dan mulai menggerak-gerakan tanganku di sekitar peniku memulai gerakan-gerakan onani. Sementara tante Lusi berdiri di hadapanku menggodaku dengan gerakan-gerakan masturbasi. Aku semakin bersemangat, hingga rudalku nampak membengkak, berkilat dan berotot. Tante Lusi juga nampak bersemangat. Terkadang dia menjilat-jilatkan lidahnya di bibir atasnya, terkadang menggigit bibir bawahnya sambil sesekali memejamkan matanya.

Tiba-tiba tante Lusi menghentikan gerakannya dan mendekati diriku, kemudian mendorong rebah tubuhku. Dia langsung menjilati dadaku, turun ke perut hingga ke bawah perut dan merenggut rudalku dari tanganku.

“Biar tante bantu sayang….”, katanya bernafsu seraya mulai mengelus-elus batang rudalku.
“Aaachh…..”, aku melenguh merasakan sentuhan halus di bagian sensitifku.
“Punyamu bagus dan besar sekali, Anton sayaang… tante tak tahan ingin melumatnya..” Dengan penuh gairah tante Lusi mulai menjilat-jilat peniku sambil sesekali memasukkan dalam-dalam ke mulutnya kemudian menghisapnya.
“Terserah apa maunya, tante… Aachh…. Tanteeee …… “, aku merasakan linu-linu dan kegelian yang luar biasa nikmat. Tanpa sadar tanganku memegang kepalanya membantu menekan mulutnya ke rudalku.

Tante Lusi terus mengerjai barangku dengan penuh semangat sedangkan aku meringis kenikmatan, hingga suatu ketika aku merasakan seakan-akan ada sesuatu yang akan meledak di batangku saking nikmatnya.

“Auh tante, ada sesuatu yang mau lepas tante… Toloong tantee….Aaaaahh……”
“Crutt….crutt….crutt.!”, aku melepaskan sesuatu yang tidak kuasa kubendung ke mulut Tante Lusi, dan tante Lusi seakan-akan sengaja tidak mau melepaskan sedikitpun batangku dari mulutnya. Cairan yang kukeluarkan rupanya ludes dilumat oleh Tante Lusi. Aku tak sempat berpikir panjang kenapa tante Lusi mau menelan semua sepermaku sampai tidak ada yang keluar dari mulutnya.
Rudalku mulai melemas, sementara tante Lusi masih menjilati dari pangkal sampai ke ujungnya.

“Gimana Anton, sayang …?”
Aku tak bisa berkomentar apa-apa, aku hanya bisa berucap “Tante cantik banget…..!”

Tante Lusi tersenyum mendengar pujianku, ia kembali menjilati batang rudalku, dan rupanya tidak lama gairahku bangkit kembali. Namun sebelum gairahku matang, aku melepaskan tante Lusi dari mainannya, menariknya kemudian mendorongnya hingga rebah.

“Gantian tante…”, kataku seraya mulai menciuminya mulai dari ujung rambut, kemudian turun ke wajahnya, ke lehernya yang jenjang dan dadanya dengan bulatan yang tidak terlalu besar namun padat menantang. Aku membuat cap-cap merah di sekitar pangkal payudaranya, kemudian mulai menghisap putingnya yang ranum dan mulai mengencang. Aku mulai memainkan jurus-jurus dalam filem biru yang sering kulihat.

“Oohh….. Antonku sayaang….. …..”, lenguhnya seraya matanya merem-melek.
Setelah puas di puting, aku kemudian menurunkan mulutku ke bagian perut, ke pusar dan secara bertahap turun dari pusar hingga kujumpai kawasan hitam lebat yang nampak dibalik cd-nya. Aku menarik cd-nya dan kulempar entah kemana, hingga kawasan hitam makin terbuka seperti hutan dengan lubang di bawahnya serta bau yang semerbak. Hutan itu nampak basah, hingga menarik minatku untuk mulai merambahnya, menyeruak masuk ke dalamnya, dan menjilati apa yang ada.
“Antooooon….. oh…. Antooon….., aach….. kamu…. Kamu… sayaang, teruskan sayaaang, ooh…… tante nggak tahannn… !”

Tante Lusi memutar-mutar pantatnya, sambil sesekali mengangkatnya, sedangkan aku sama sekali aku tak mau melepaskannya. Pada saat klimatks, tante Lusi melingkarkan dan menjepitkan kakinya dengan kuat di leherku sambil mengangkat pantatnya tinggi-tinggi, sementara tangannya menekan kepalaku di sela-sela selangkangannya. Kurasakan ada cairan hangat meleleh keluar dari kemaluan Tante Lusi dan dengan semangat aku menjilatinya dan tetap menjilatinya, hingga dia terkapar lemas.

Tante Lusi kemudian menarik dan memeluk tubuhku, menciumiku dengan hangat dan sayang.

“Terima kasih sayaang… sudah lama tante tidak merasakan kenikmatan seperti ini….!”, katanya puas.
Pada saat tante Lusi mendekapku, aku merasakan peniku yang sejak tadi bangkit, mendesak-desak di perut tante Lusi.

“Oh Anton, cepet banget punyamu bangkit kembali… ayo sayaang…!”, katanya seraya bangkit dan merebahkan tubuhku, kemudian meletakkan tubuhnya di atas tubuhku, kemudian dia memutar tubuhnya membentuk posisi enam sembilan. Dia kembali mengulum batang rudalku, dan aku tentunya tidak membiarkan mainan di depanku menganga lebar tanpa menyentuhnya. Aku juga mulai menggesek-gesekkan kembali lidahku di seputar bibir vagina tante Lusi, menjulurkan lidahku ke arah lubangnya dan mencoba menyentuh klitorisnya. Tante Lusi nampaknya cepat terangsang, hal ini kurasakan dari kedutan-kedutan sekitar vaginanya, manakala kusentuh klitorisnya. Sesekali tante Lusi melihat ke arahku.
Pada saat gairahku dan gairan tante Lusi mulai memuncak, tante Lusi merubah posisinya. Dia tidur terlentang dengan posisi mengangkangkan kedua pahanya lebar-lebar. Dia menarik tubuhku ke atas tubuhnya, aku mulai siap menindih tubuhnya.

“Ayo Anton, masukkan di sini sayaang.!”, kata tante Lusi sambil tangan kanannya memegang peniku dan mengarahkannya ke liang vaginanya. “Masukkan sayaang, puaskan tante dan kubuat kau terkapar….!”

Aku mendorong rudalku mengikuti arahan tangan tante Lusi, dan manakala ujungnya mulai menerobos, tanpa sengaja aku mendorongnya kuat-kuat.

“Blesss…..”, rudalku masuk ke dalamnya, hingga tante Lusi terhenyak.
“Auuuww….. !”, jeritnya. “sabaar dong, sayaang…. Pelan-pelan…. Napa sih?”, lanjutnya sambil tersenyum nikmat.
“Habis baru nempel aja sudah enak, tante!”

Memang…. aku merasakan sensasi yang luar biasa, sesuatu yang kenyal menjepit dan menghisap rudalku, dan kurasakan sangat ueenak tenan. Seakan sudah naluri, aku menarik kembali peniku, kemudian mendorongnya kembali, kutarik lagi, kudorong lagi.

“Ah…. Ah… ah….!”, tante Lusi megap-megap mendesah kenikmatan. Gerakanku tadi rupanya benar-benar membuat tante Lusi melayang-layang, matanya merem melek, napasnya memburu. Bibirku dilumatnya habis-habisan. Pantatnya kadang-kadang menggoyang, kadang-kadang menghentak ke atas mengimbangi gerakanku.

“Kok enak begini, tante……”, kataku sambil mendesah dan terus menggenjot turun-naik.
“Heemh……sayaaaangg….. tante juga…. ooohh… Tante nggak tahannn…… tante nggak tahaann, Toonn….. Ayo teruuuss…Toon…!”.

Tante Lusi rupanya mulai perjalanan menuju orgasme. Melihat keadaan ini aku makin bersemangat, ada keinginan untuk memuaskan tante Lusi, maka aku terus meningkatkan frekwensi gerakanku, hingga saatnya tante Lusi mendekap erat tubuhku dengan tubuh yang mengencang, mulutnya menggigit dan menghisap kuat bagian dadaku hingga nampak memerah, kakinya melilit kuat di kakiku sambil mendorong pantatnya ke atas. Saat itu aku merasakan ada sesuatu yang menjepit kuat kemaluanku.

“Aah…aahh…. Aaachh…. Antoon, tante keluar sayaaaang….. tante keluuaaar…… !”
“Ya, tanteee…… ini buat tante dari Anton, buat tantee…..!”, kataku tanpa mengurangi genjotanku.
“Ooohh… aacchh….. nikmat sekali rasanya, sayang….”, ucapnya tante Lusi dan gerakannya mulai melemas, sedangkan aku masih tetap turun naik.
“Kamu bener-bener hebat, Ton….. “, katanya sambil berusaha menyinkirkan peluh di dahiku.
“Kita ganti posisi, sayang.. tante mau nungging!”

Aku mencabut rudalku, sementara tante Lusi merubah posisinya. Aku kemudian menghantamnya dari belakang seraya tanganku meremas-meremas bulatan bokongnya yang menantang, kemudian memeluk sambil meremas-remas payudaranya. Tante Lusi menggoyangkan pantatnya atau melakukan gerakan maju mundur menyelaraskannya dengan gerakanku. Sungguh dalam posisi apapun aku merasakan kenikmatan yang luar biasa.

“Oohh ….kayaknya tante mulai naik lagi, Anton…!”

Aku semakin memacu gerakanku dengan gaya berputar atau maju mundur berusaha menyentuh klitoris tanteku, dan ternyata usahaku berhasil. Tante menarik dan memelukkan tanganku di dadanya, punggungnya membungkuk menumpu pada tanganku, mulutnya menggigit bantal di depannya. Pantatnya kurasakan semakin menungging, dan aku kembali merasakan vaginanya berkontraksi hingga terasa menjepit kuat peniku.

“Anton, aauuch……… sayaaaangg…..!”, rintihnya tertahan. Untuk yang kedua kalinya tante Lusi berhasil mencapai orgasme. Tak lama kemudian tubuhnya memelorot dengan posisi telungkup, hingga peniku lepas dari vaginanya. Aku hanya bengong saja sementara peniku tetap tegak.

Tante Lusi membalikkan tubuhnya, kemudian berdiri dan memintaku terlentang. Dia mengambil posisi jongkok di atas tubuhku, memegang tegak rudalku dan mengarahkan ke liang vaginanya. Perlahan-lahan tante Lusi menurunkan pantatnya dan rudalku terasa menyelusup kembali ke dalam liangnya. Dalam posisi duduk dan dengan kedua tangan bertumpu di dadaku, tante Luasi memulai aktivitasnya menurunkan, menaikan atau memutar pantatnya. Kali ini tante Lusi yang bertindak aktif, aku hanya menerima saja. Sementara tanganku bermain di bulatan dan putting payudaranya, dengan posisiku ini aku juga bisa menikmati kecantikan tanteku itu. Sesekali aku menarik tubuh dan wajahnya, menghisap-hisap putingnya, melumat bibirnya, menjilat cupingnya dan membisikkan kata-kata sayang di telinganya.

“Tanteku yang cantik, tante sayaangg….. ayo terus dong godain Anton….!”
“Aahh, Antoonn….!”, katanya seraya membalasku dengan gigitan-gigitan kecil di telingaku dan jilatan-jilatan di leherku.

Perjalanan itu terasa mengasyikan, dan tiba-tiba aku sudah hampir mencapai puncak. Terasa ada sesuatu yang menggelegak, dan tanpa kusadari aku mulai ikut bertindak aktif menghentak-hentakan pantatku, beusaha mendorong lebih dalam lagi ke vagina tante Lusi.

“Uuuhh …… tante….., aku mau sampai….!”, desahku.
“Tante juga sayaangg……. Tahan, ya…. Kita keluarin bareng-bareng…..!”

Gerakan-gerakanku dan tante Lusi mulai tidak beraturan. Kami sama-sama berusaha mengeluarkan sesuatu yang seakan-akan tertahan. Akhirnya…… aku dan tante Lusi saling berpelukan kuat, aku mengangkat pantatku menghujamkan lebih dalam lagi peniku, sedangkan tante Lusi mendorong kuat-kuat pantatnya ke bawah dengan kaki terlilit di kakiku.

“Tan….teeee……., Anton keluarin di mana…?”
“Di dalam aja, sayaang….. ayo sayang…. Nggak apa-apa sayang….!!”
“Aaachh….!!”, rintihku tertahan.
“Crutt…crutt….crutt….!”, aku menyemburkan banyak sekali cairan di lubang vagina tante Lusi.
“Auuhh….Antoonn, sayaaanggg… enak sekali, sayaang… aaahh… aaaaahh..….!!”, tante Lusi merintih dan mengerang panjang.

Kami tetap berpelukan seolah-olah tak mau kehilangan sedetikpun momen tersebut, sampai akhirnya aku dan tante Lusi benar-benar terkulai lemas.

“Tante akui kamu hebat, Anton….. tante bener-bener kalah deh…… Baru pertama kamu melakukan, tapi tante bener-bener luar bisa menikmatinya”, tante Lusi memujiku puas seraya menciumiku dan menyeka tubuhku yang bermandi keringat.
“Tante juga hebat…!”, kataku. ”Terus terang tante, keinginan Anton bercinta dengan tante akhirnya kesampaian….. Makasih ya, tante…!”, kataku balas menciumnya.
Tante Lusi tersenyum manis menatapku, kemudian bertanya : ”Ngomong-ngomong… sejak kapan kamu punya keinginan bercinta dengan tante, sayang?”
“Sejak Anton masih kecil dulu….. sejak tante pertama kemari….. sepuluh tahun yang lalu….. Sewaktu tante maen sama oom Yanto, padahal di sebelahnya kan ada Anton”
“Lho, waktu itu kamu kan tidur nyenyak!”
“Ah nggak, Anton cuma pura-pura tidur aja, sambil maen-maen dengan titit Anton…”
“Ah Anton…. Anton…., dasar ponakan tengal……!!”, kata tante Lusi sambil mencubit pipiku.

Malam Minggu itu menjadi kenangan paling indah bagiku di usiaku yang ke-17. Walau keperjakaanku hilang direnggut tante Lusi, namun aku tidak menyesalinya, aku puas…puas sekali. Aku dan tante Lusi seakan-akan tak mau melewatkan keindahan malam itu sedetikpun. Kami bercengkrama, mandi bersama, bercumbu, bercinta lagi dan bercinta lagi… tanpa merasa lelah sama sekali.
Rencana tante Lusi tinggal selama dua minggu di Jakarta molor menjadi hampir satu bulan. Aku dan tante Lusi menikmati habis-habisan sisa kunjungan tante Lusi yang tersisa. Tante Lusi sempat mengajakku berweekend ria di Puncak, Bandung, Ciater dan lain-lain tempat dimana kami bisa menikmati percintaan kami. Tante Lusi benar-benar mengeluarkan semua ilmu bercinta yang dimilikinya padaku. Tak ada anggota keluarga di rumah yang curiga dengan skandalku, karena aku dan tante Lusi juga berpandai-pandai menjaga hubungan kami.
Sampai saatnya tante Lusi harus kembali ke Manado, aku melepasnya dengan berat hati, demikian halnya dengan tante Lusi. Tante Lusi memberiku kenang-kenangan sebuah cincin emas bermata berlian sebagai hadiah ulang tahunku dan kenangan manis darinya. Di bagian dalam, tertulis nama “Lusiana”. Hingga kini cincin itu masih kusimpan dengan rapi.

Namun aku tak perlu kecewa, karena pada semester mendatang tante Lusi berjanji akan mengajakku liburan di sana, segala akomodasi dia yang akan menanggung, pokoknya aku terima beres. Tentu saja aku menyambutnya dengan suka hati dan akan menanti saat-saat tersebut. Tante Lusi oh tante Lusiku sayang….!!
__________________
Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "terenggutnya sang jejaka"

Posting Komentar